SELAMAT TAHUN BARU 2019
Opini by Zeng Wei Jian
In political science, Sebuah Revolusi (revolutio; “a turn around”) merupakan perubahan fundamental dan ‘relative sudden change’ pada konstelasi political power. Biasanya, revolusi pecah akibat opresi penguasa di bidang politik, sosial dan ekonomi.
Aristotle (in book V Politics) menyebut dua type revolusi; Complete change dan modifikasi dari existing constitution.
Tahun 2019, Indonesia menghadapi revolusi konstitusional di Pilpres April. Rezim ini harus diganti.
“Revolusi 2019” tidak pernah bersifat seperti digambarkan Alexis de Tocqueville; A sudden & violent revolution to transform an entire society.
Dia lebih mendekati salah satu bentuk tipologi revolusi versi Mark Katz; “Revolution from above”.
Rasa ingin perubahan itu hendaknya jangan distop atau dihancurkan dengan manipulasi, curang, hoax dan fitnah dari Status Quo.
In 1962, John F Kennedy berkata, “Those who make peaceful revolution impossible will make violent revolution inevitable”.
Bagi oposisi, camkan ini: A peaceful non violent revolution is still A Revolution.
Bagi Chairman Mao Tse Tung, “A revolution is not a dinner party, or writing an essay, or painting a picture, or doing embroidery; it cannot be so refined, so leisurely and gentle, so temperate, kind, courteous, restrained and magnanimous”.
Revolusi bukan pesta-pesta makan, dansa-dansi, menulis curhat, menyulam, gossiping atau melukis.
Revolusi ialah gerakan insureksi kekuasaan dari tangan rezim hoaxer yang berpilar para penoda agama Islam. Rakyat lapar, sembako dan BBM naik, mereka ngajak Prabowo-Sandi tanding ngaji di Aceh. Mengkeret saat ditantang balik adu push up atau menembak. Konyol…!!
Mengadopsi five-stage strategy George Lakey dalam bukunya “A Manifesto for Nonviolent Revolution” (1973): Cultural preparation, Building Organization, Confrontation, Mass Non Cooperation, Developing Parallel Institution.
Persiapan kultural sudah dimulai sejak Ahok menista agama dan “legalisasi” kelompok Islam-Nusantara. Pembentukan organisasi dan networking, Konfrontasi, Perlawanan massal berkesinambungan dan mengembangkan institusi paralel merupakan tahapan alamiah pasca 2016.
Maintaining the “ghiroh” is our task. Euforia kemenangan Pilkada Jakarta trigger apa yang disebut Vladimir Lenin sebagai “Left Wing Communism’s Infantile Disorder”.
Semua orang cari panggung. Pengen ngetop. Karena dikiranya, popularitas kunci sedot duit. Fitnah sana-sini. Mainkan kartu rasisme Anti China, Anti Kristen, Anti Amerika dan sebagainya. Sok jago. Inbox penuh dengan nyinyir dan character assasination.
Alhasil, basis fundamental Jabar, Jateng, Jatim lepas.
Opposition failed the test of time and minor victory. Deklarasi Prabowo-Sandi menjadi momentum pertama memperbaiki dan evaluasi diri.
Singkirkan sampah dan benalu. Those who seek fame & fortune on revolutionary wave dan aktifisme politik.
Memasuki tahun baru 2019 adalah momentum kedua evaluasi diri. Perkuat diri. Ingat sisa waktu perang hanya 100 hari. “If you want to make this year better, make each minute better,” kata Saji Ijiyemi.
Perkuat solidaritas dan devotion to the revolution. Fokus. Pertajam pisau analisa. Dinginkan kepala. Tambah disiplin, tenacity, self-sacrifice, heroism, dan perluas komunikasi dengan semua lapisan rakyat. Mau kafir, mau kaya, mau kere. Biarin. Yang penting Pro Prabowo-Sandi.
Ikuti komando yang benar. Stop sok pinter dengan anjuran stop serang Paslon Ko-Ruf No. 1 dan hanya berkutat pada branding. Itu tugasmu. Bukan tugas yang lain. Jangan campuri job desk orang lain.
If you think you are smart enough, think twice. You are not Erick Tohir nor Jenderal Joko Santoso.
Akhir kata, Selamat Tahun Baru 2019. Mengutip statement Akilnathan Logeswaran; “Let us celebrate the dates on which we change the world”.
THE END
sumber: WAG Relawan Pride dari https://m.facebook.com/story.php?story_fbid=129688981383311&id=100030266284707