Otoritas Jasa Keuangan (OJK) menilai pasar modal syariah Indonesia minim dukungan investor. Terbukti, sepanjang 2018 jumlah saham syariah hanya mencapai 391 saham. Ini artinya hanya bertambah 26 saham dibanding posisi akhir 2017 sebanyak 365 saham. Atau naik 7,1%.
Kendati jumlah saham bertambah, kapitalisasi pasar Indeks Saham Syariah Indonesia (ISSI) sampai akhir November 2018 hanya mencapai Rp3.567 triliun. Ini turun 3,7% secara year to date (ytd) dari Rp3.704 triliun per Desember 2017. Sementara itu nilai indeks ISSI secara ytd mengalami penurunan dari 189,73 pada awal tahun ini menjadi 181,39 per 4 Desember.
Kepala Eksekutif Pengawas Pasar Modal OJK Hoesen menilai, pasar modal syariah Indonesia masih minim keberpihakan dari investor. Soalnya ada publik memiliki persepsi yang berbeda terkait pasar modal syariah, yaitu masih menggunakan cara pandang konvensional.
“Industri pasar modal syariah terus berkembang sepanjang 2018. Hingga 23 November 2018, OJK telah menerbitkan daftar efek syariah. Dalam daftar tersebut tercatat ada 407 saham yang akan berlaku efektif pada 1 Desember 2018. Dari sisi jumlah meningkat 6,5 persen dibandingkan tahun 2017 sejumlah 382 saham,” ujar Hoesen dalam sambutan di acara seminar Outlook Pasar Modal Syariah 2019 di kawasan Lapangan Banteng Jakarta Pusat, Rabu (5/12).
Sementara untuk konstituen ISSI sebesar 391 saham, berarti lanjut Hoesen, jumlahnya meningkat 7,1% dibanding periode yang sama tahun lalu. Dari segi kapitalisasi pasar, terjadi penurunan sebesar 3,7% menjadi Rp 3.567 triliun, akhir November 2018. “Investor diharapkan tidak terjebak dengan pemikiran konvensional yang memikirkan potensi ekonomi syariah terkait imbal hasil atau yield saja, terutama dari buying side,” jelas Hoesen.
Jika investor masih menggunakan cara pandang konvensional terhadap instrumen pasar modal syariah, kata dia, sampai kapan pun produk syariah akan menjadi produk marginal. Hingga akhir tahun 2018 dan memasuki 2019, pasar modal syariah juga menghadapi tantangan yang sama dengan pasar modal konvensional.
“Itu kenaikan US Federal Fund Rate, eskalasi perang dagang antara Amerika Serikat (AS) dengan Tiongkok, serta kondisi defisit neraca transaksi berjalan atau current account deficit (CAD). Kendati kenaikan jumlah saham syariah terbatas, pada instrumen reksa dana syariah jumlahnya naik 19,8%,” sebut dia.
Saat ini terdapat 221 reksa dana syariah dengan nilai aktiva bersih sebesar Rp33,9 triliun. jumlah tersebut naik dibandingkan tahun 2017 yang tercatat ada 182 reksa dana syariah dengan nilai aktiva bersih Rp28,3 triliun.
Sementara itu, hingga November 2018, terdapat 108 sukuk korporasi, dengan nilai outstanding sebesar Rp22,8 triliun. Jumlah tersebut meningkat dibandingkan pada posisi akhir 2017. Jumlah sukuk naik 36,7% (ytd) dari 79 sukuk, sedangkan nilai outstandingnya naik 45,2% (ytd) dari Rp15,7 triliun.
Dengan perkembangan tersebut, Hoesen menegaskan, OJK akan terus mengupayakan perkembangan pasar modal syariah tanpa melupakan kualitas dan terutama penerapan prinsip-prinsip syariah. “Agar menumbuhkan kepercayaan masyarakat bahwa produk pasar modal syariah tidak hanya berbeda tapi juga berkualitas,” pungkasnya.
Analis optimistis prospek industri pasar modal syariah di 2019 lebih positif dari 2018. Meskipun perlu diakui, pasar modal masih akan dihadapkan pada beberapa tantangan seperti kebijakan moneter yang lebih ketat, dampak pemilihan presiden dan kondisi likuiditas yang lebih ketat.
Proyek Infrastruktur
Pengamat Pasar Modal Syariah Adiwarman Karim mengatakan, banyaknya proyek infrastruktur akan dibiayai ulang melalui pasar modal lewat penerbitan sukuk. Ini karena, mulai selesainya IDC grace periode dari bank.
“Selain itu, cicilan pokook juga dapat ditunda sampai sukuk jatuh tempo. Ditambah cicilan ujrah (pembayaran atas jasa) bulanan dapat diubah menjadi kupon 3 hingga 6 bulanan,” jelas Adiwarman yang jadi pembicara seminar.
Selain itu, lanjut dia, kebutuhan tambahan modal juga akan mendorong initial public offering (IPO) perusahaan walaupun likuiditas mengetat. Sedangkan likuiditas perbankan yang makin ketat akan mendorong pelaku usaha mencari sumber dana dari pasar modal.
“Penawaran saham, penerbitan sukuk, EBAS SP dan produk pasar modal lainnya akan menjdai pilihan untuk melengkapi keterbatasan likuiditas sektor perbankan,” ungkap Adiwarman, dosen Universitas Azzahra Jakarta.
Head of Fixed Income Research Mandiri Sekuritas Handy Yunianto menyatakan, ketidakpastian global dari sentimen perang dagang akan menjadi faktor pendorong volatilitas pasar obligasi di 2019. Selain itu, yield SUN juga masih berpotensi mengalami sedikit penurunan di akhir 2019.
“Itu dipicu membaiknya CAD, rupiah yang lebih stabil, kenaikan suku bunga acuan Bank Indonesia (BI7DRR) yang diperkirakan tidak sebesar 2018 dan ekspektasi rating upgrade di 2020,” papar Handy.
Untuk itu, ke depan, pemerintah masih akan mendominasi penerbitan sukuk di 2019. Meskipun, untuk penerbitan obligasi sukuk akan relatif sama dengan 2018 untuk memenuhi kebutuhan refinancing, yakni Rp 3,7 triliun untuk sukuk dan Rp 86 triliun untuk obligasi konvensional.
“Ini seiring dengan belum tingginya ekspektasi pertumbuhan ekonomi domestik 2019. Ditambah lagi, secara historical penerbitan obligasi korporasi cenderung melambat saat pemilu,” tutupnya. (lin)