Kementerian PPN/Bappenas didukung kerja sama Pemerintah Indonesia-Jerman yang diimplementasikan oleh GIZ melalui Program Perlindungan Sosial dan Panitia Antar Kementerian menyelenggarakan Diskusi Terfokus Finalisasi RPP Perencanaan dan Rencana Induk Pembangunan Inklusif Disabilitas (RIPID), Kamis (22/11) di Double Tree, Jakarta.
Sesuai Keputusan Presiden No. 9 Tahun 2018 tentang Program Penyusunan Peraturan Pemerintah, Kementerian PPN/Bappenas diberi amanat untuk mengkoordinasikan penyusunan Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) tentang Perencanaan, Penyelenggaraan, dan Evaluasi Penghormatan, Pelindungan, dan Pemenuhan Hak Penyandang Disabilitas Tahun 2018.
Untuk mengakomodasi kebutuhan seluruh pemangku kepentingan dalam RPP dan RIPID ini, Kementerian PPN/Bappenas ikut melibatkan para penyandang disabilitas di Indonesia. Sekitar 21 juta atau 8,56% penduduk Indonesia merupakan penyandang disabilitas dan merupakan kelompok yang memiliki keterbatasan dalam berbagai sektor, termasuk aksesibilitas pelayanan publik dan lainnya.
Direktur Penanggulangan Kemiskinan dan Kesejahteraan Sosial Kementerian PPN/Bappenas Vivi Yulaswati mengatakan, dalam kebijakan dan program terkait penyandang disabilitas seringkali ditemukan minimnya keberpihakan kepada penyandang disabilitas karena kurang dilibatkan dalam penyusunannya.
Masih terbatasnya pemahaman dari pemangku kepentingan terhadap isu inklusif disabilitas dalam setiap program dan kegiatan, lanjut Vivi, menjadi kendala untuk mengakomodasi keberpihakan terhadap penyandang disabilitas.
Kerjasama dengan GIZ yang telah berlangsung selama delapan tahun ini memberikan perhatian utama bagi peningkatan kapasitas dan kemampuan institusi maupun individual dalam bidang legislasi, serta konsep perlindungan sosial yang komprehensif sesuai dengan resiko hidup manusia (life-cycle risk), sehingga RPP Perencanaan dan RIPID yang dirumuskan ini bertujuan untuk menjamin pemenuhan hak dasar penyandang disabilitas.
“Hari ini kami menyampaikan konsep RPP dan RIPID yang telah disusun bersama kepada seluruh pemangku kepentingan, baik dari Pemerintah maupun pemangku kepentingan lainnya,” ujar dalam rilisnya, Kamis (29/11).
“Kami pastikan seluruh rangkaian kegiatan penyusunan kebijakan dan program ini diikuti langsung oleh teman-teman penyadang disabilitas guna memastikan suara mereka didengar dengan baik. Sehingga kebijakan dan program yang disusun sesuai dengan ketentuan yang ada,” imbuhnya.
Undang-Undang No. 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas, kutip dia, menjabarkan berbagai ketentuan terkait penyandang disabilitas, termasuk berbagai hak penyandang disabilitas yang harus dipenuhi baik oleh Pemerintah Pusat maupun Daerah.
Hasil pemetaan yang telah dilakukan menunjukan 15 substansi pemenuhan dan penghormatan hak penyandang disabilitas perlu diatur lebih lanjut di dalam Peraturan Pemerintah. Dalam pengembangannya, penyusunan aturan turunan UU No. 8 Tahun 2016 disederhanakan menjadi delapan RPP.
1) akomodasi layak dalam peradilan, 2) akomodasi layak bagi peserta didik penyandang disabilitas, 3) unit layanan disabilitas dan kesejahteraan sosial, 4) habilitasi dan rehabilitasi sosial, 5) permukiman dan pelayanan publik, 6) insentif dan konsesi, 7) perencanaan, penyelenggaraan, dan evaluasi penghormatan dan pelindungan, serta 8) pemenuhan hak penyandang disabilitas.
“RPP ini memuat berbagai aturan mekanisme perencanaan yang inklusif disabilitas, RIPID, kewajiban Pemerintah Daerah untuk menyusun RIPID Daerah, penyelenggaraan sasaran dan strategi implementasi RIPID, serta pemantauan dan evaluasi pelaksanaan RIPID dalam mendukung pembangunan inklusif disabilitas,” ujarnya.
RPP ini juga, kata dia, akan dilengkapi dengan RIPID yang berfungsi sebagai pedoman bagi seluruh K/L dan Pemerintah Daerah dalam menyusun perencanaan dan penganggaran di seluruh sektor. (ita/lin)