Program Nawacita Jokowi di 2014 yang hampir pasti gagal adalah program wajib belajar 12 tahun, pada 2022. Kalau mau memaksakan program wajib belajar 12 tahun itu dapat dilaksanakan, syaratnya revisi dulu Undang-Undang Sisdiknas No 20 Tahun 2003.
Ironisnya, komitmen menjalankan program wajib belajar 12 tahun pada 2022 dengan menganggarkan 20 persen biaya APBN untuk sektor pendidikan, atau Rp 444 triliun tahun ini, malah menguntungkan pemerintah daerah.
Pemerhati Pendidikan Doni Koesoema A mengatakan, ada pula konsekwensi dari pelaksanaan program wajib belajar 12 tahun. Setidaknya, nilai Doni, biaya pendidikan jadi gratis sampai SMA. Cuma, kata dia, ada uangnya tidak? Sekarang ini uang yang dialokasikan untuk pendidikan sudah habis dipakai untuk gaji guru dan pendikan.
“Apalagi anggaran pendidikan yang 20 persen ini dibagi-bagi lagi di banyak kementerian. Jadi Rp 444 triliun di Kemendikbud itu, sebenarnya cuma dapat Rp 390. Karena untuk di Kemenag ada Rp59 triliun, lalu ke Kemenristekdikti sekitar Rp 40 trilliun. Jadi yang dari 60 persen itu masih 40 persen, 40 persen ini dibagi banyak kementerian,” ungkap Doni saat ditemui di kisaran Jenderal Soedirman, Jakarta Selatan, Selasa (18/9).
Jadi kalau ada sekolah rusak, nilai Doni, itu tanggungjawab permerintah daerah. Tahun 2017, kata dia, program ini sudah dibahas sampai lintas kementerian. Tapi begitu Anies Baswedan yang kini Gubernur DKI Jakarta dicopot oleh Jokowi dari jabatan Mendikbud, isu wajib belajar 12 tahun ini pun hilang sampai sekarang.
“Padahal itu amanat Nawacita, kampanyenya Jokowi. Menteri yang sekarang Muhajir pun, saya lihat tidak diberi tugas membahas itu. Karena terasa tugasnya, lebih seperti KIP (keterbukaan informasi public), advokasi, dan penguatan karakter,” sindirnya.
Jadi komitmen menjalankan program wajib belajar 12 Tahun pada 2022 dengan menganggarkan 20% biaya APBN untuk sektor pendidikan. Atau besarannya Rp 444 triliun pada tahun ini. Dari jumlah ini, lebih dari 60% anggaran ditujukan untuk ditransfer ke daerah. “Ini artinya, pemerintah daerah selaku pemangku kebijakan pendidikan mempunyai kewenangan mengatur dana pendidikan yang diterimanya,” ungkapnya.
Namun, nilai dia, ada kecenderungan daerah menggunakan anggaran itu untuk infrastruktur nonpendidikan. Padahal, masalah yang paling utama adalah mutu pendidikan ikhwal kualitas guru di daerah yang masih di bawah standarisasi. Berdasar hasil Uji Kompetensi Guru (UKG) 27 provinsi memiliki rata-rata nilai di bawah standar minimal.
“Saat ini tentang kebijakan wajib belajar 12 tahun, itu dasar hukumnya tidak ada. Beberapa waktu lalu, masyarakat sipil dari puluhan lembaga swadaya masyarakat mengadakan judicial review atas UU Sisdiknas, terkait pendidikan dasar. Karena kalau di luar negeri, pendidikan dasar itu selama 12 tahun, termasuk SMK,” paparnya.
Jadi, simpula Doni, kalau bicara pendidikan dasar otomatis 12 tahun. “Apalagi sekarang sudah 15 tahun, UU sisdiknas itu sudah tidak cocok lagi dengan situasi sekarang. Saatnya diganti. Ironisnya, diprolegnas saja tidak masuk. Untung masyarakat terus mengajukan revisi,” ujarnya.
Di Indonesia, definisi pendidikan dasar hanya SD sampai SMP. Maka pemerintah menganggarkan yang wajib belajar itu baru sembilan tahun. “Memang pemerintah sekarang memiliki aturan untuk program wajib belajar yang 12 tahun, tapi ini dalam bentuk peraturan presiden pemerintah (Permen) No 47 Tahun 2008, Tentang Wajib Belajar,” ulasnya.
Dalam aturan ini, sambung dia, pemerintah pusat memberi kebebasan pemerintah daerah untuk menyelenggarakan program wajib belajar 12 tahun. Maka sejak 2008, ada beberapa daerah yang memiliki Perda wajib belajar 12 tahun, tapi di beberapa daerah yang memiliki Perda wajib belajar ternyata tidak bertaunggungjawab menyediakan anggaran.
“Jadi program wajib belajar 12 tahun, malah jadi jargon kampanyenya di Pilkada saja. Begitu di cek perda yang disebut-sebutnya, ternyata tidak ada anggarannya. Faktanya untuk program wajib belajar 12 tahun itu, pemerintah daerah mengambilnyanya dari dana BOS. Jadi tidak menyediakan dalam APBD,” bebernya.
Padahal dana BOS sebenarnya sudah ada, kata dia, jadi tidak perlu dikampanyekan pun dana BOS sudah ada. Ini disebabkan secara hukum, nilai dia, pemerintah daerah tidak terikat harus memenuhi tuntutan program wajib belajar 12 tahun
Dan ternyata ketika Judicical Review, masyarakat sipil itu kalah. Karena Mahkamah Konstitusi (MK) beralasan bahwa urusan 12 tahun dari sembilan, itu adalah urusannya pembuat UU, yaitu legislatif dan eksekutif. Maka sebenarnya, presiden bisa mengusulkan revisi UU Sisdiknas kepada DPR,” ungkapnya.
Tapi, lanjut Doni, terbukti belum dilakukan apa-apa. Jadi sampai sekarang, regulasinya hanya sembilan tahun. Jaman Mendikbud M Nuh ada permendikbud tentang Pendidikan Menengah Universal (PMU). “Di situ ada dana yang terbatas untuk dipakai akses pendidikan 12 tahun. Tapi karena Permendikbud tergantung menterinya, maka begitu ganti menteri, tidak berlanjut lagi,” sindirnya.
Doni tidak melihat Pemerintah daerah benar-benar mengandalkan dana yang ditransfer yang 60% dari APBN untuk pendidikan. Dia hanya melihat, yang jumlahnya sekitar Rp 220 triliun dari Rp 444 triliun itu, perutukannya adalah Dana Alokasi Khusus (Dak) Fisik dan Pengembangan. Jadi kalau yang benarnya, kata dia, DAK Fisik itu dipakai untuk infrastruktur pembangunan sekolahnya dan DAK Pengembangan untuk pelatihan guru dalam rangka meningkat kompetensi guru, dll.
Yang jadi masalah, kutip dia, begitu DAK ditransfer ke daerah, uang itu langsung menjadi pemasukan kas daerah dan bisa diatur dimainkan oleh kepala daerah. ”Faktanya kepala daerah tidak memakai untuk pembangunan sekolah dan pengembangan guru. Malah dibangun insfrastruktur jalan dan pencitraan, apalagi menjelang kampanye, duit itu dipakai untuk bantuan-bantuan sosial supaya terpilih,” ujarnya.
Hal itu, kata dia, seolah disupport Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) dan Kementerian Keuangan (Kemenkeu). Di mana tidak ada mekanismenya untuk mengecek, apakah uang DAK fisik itu bener-benar untuk pembangunan sekolah. “Kecuali dana yang untuk sertifikasi guru, memang tidak bisa dipakai untuk apapun lagi. Pemda pun memang tidak bisa mengambil uang itu, karena langsung ditransfernya ke guru bersangkutan,” paparnya.
Itu mengapa sekolah-sekolah di daerah tidak terbangun dengan baik. Karena uang yang ditransfer Menteri Keuangan ke daerah, tidak dipakai sesuai peruntukan. Akuntabilitas dan transparan DAK Fisik itu tidak bisa dipertanggungjawabkan. Maka sebenarnya banyak sekolah rusak bahkan rubuh itu, harusnya jadi tanggungjawab pemda.
Ironisnya, pemda mengklaim APBD sudah mengalokasikan pendidikan lebih dari 20%. Padahal, itu dana transferan pemerintah pusat melalui DAK. “Sayangnya pelaporan seperti ini ditandatangani juga sama Kemendagri. Makanya, zaman Anies Baswedan dibikin neraca pendidikan daerah-daerah yang mengakibatkan dana pendidikan itu muncul jadi kecil-kecil,” sindirnya.
Agar ini tidak berlarut, Doni mengajak masyarakata tidak berhenti ikuit mengontrol. Mengawal DAK ini supaya dipakai sesuai peruntukan untuk pengembangan pendidikan termasuk program wajib belajar 12 tahun. “Pemda itu pintar bermainnya. Mereka memang bikin perda-perda tentang pendidikan, tapi faktanya tidak menyediakan keuangannya. Sehingga untuk SMA tidak jalan,” kecamnya.
Masalah penganggaran ini ada di kementerian keuangan, Doni mengaku, itu sistem dan mekanismenya tidak ada di Kemendikbud. Karena yang minta laporan penggunaan dana keuangan dari pemda ke Kemdagri dan Kemenkeu. Misalkan dana pendidikan 20%, cara itungnya doubel. Jadi DAK yang atas nama pendidikan sama pemda diklaim sebagai dana pendidikan daerah mereka. Sementara mereka tidak ada kontribusi, termasuk dana BOS, DAK Fisik, dan lain-lain.
Padahal kalau dibedakan antara dana dari pusat sama uang daerah sendiri untuk pendidikan, maka untuk anggaran pendidikan tidak sampai 20%. Paling banyak 5%. Jadi komitmen pemda untuk pendidikan kurang. Yang paling tinggi Jakarta, malah lebih dari 20%. (lin)