Penetapan calon anggota legislatif (caleg) menjadi daftar caleg tetap (DCT) oleh KPU, 23 September 2018. Bayang-bayang praktik korupsi massal yang dilakukan anggota Dewan Perwakilan Rakayat Daerah (DPRD) di beberapa daerah, seperti di Sumut, Jambi, dan Kota Malang, Jawa Timur, menjadi momok. Maka diperlukan solusi konkret.
Pengamat Politik Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Firman Noor memberikan solusi yang komprehensif dengan mencakup tiga hal, yaitu mental kultural, structural law enforcement dan aturan, serta kelembagaan partai yang harus dimasukkan dalam UU Pemilu atau Partai Politik (parpol).
“Mental kultural ini berupa pendidikan pollitik. Sebetulnya peran partai, media, dan lembaga-lembaga pendidikan juga ikut di dalamnya,” ujar Firman di ruang kerjanya gedung LIPI, kawasan Gatot Soebroto, Jakarta Selatan, Jumat sore (14/9).
Sayangnya, sindir Firman, partainya sendiri bermasalah. Media pun banyak meng-cover atau menutupi terkait kader-kader yang terjerat kasus korupsi. Sehingga media jadi tidak bebas nilai. Lembaga-lembaga pendidikan ini ada di sekolah, LSM, Perguruan Tinggi, cuma pendidikan politik ke warga tidak besar.
“Sementara orang Indonesia melihat politik tidak baik. Padahal politik itu penting. Karena politik itu mempengaruhi kita mulai dari bangun tidur sampai mau tidur. Politik itu seperti udara. Kita bangun menyalakan lampu itu pakai listrik, kita berwudhu, butuh air. Jadi semua itu ada fee. Mau sarapan ada harga beras. Semua harga-harga itu adalah policy atau kebijakan,” ungkapnya.
Harga-harga itu bukan datang dari langit, tapi dari lembaga parlemen bekerja sama dengan eksekutif/pemerintah. “Nah, itu yang luput dari cara pandang masyarakat terhadap politik. Jadi politik ini hajat orang banyak. Kalau tahu itu, mereka akan aware sebetulnya. Minimal dalam memilih caleg muncul rasionalitasnya. Kalau dikasih uang dengan tujuan untuk mencoblos si caleg, tahu ini tidak baik,” paparnya.
Kedua, lanjut Firman, Low enforcement atau aturan main. Lembaga pengawas, penindak, penyidik, semua harus bahu membahu untuk memberesi kebocaran-kebocoran yang ada dalam kehidupan politik kita, termasuk kader partai.
“Satu lagi yang harus diatur dalam UU Pemilu, tidak perlu lagi aturan mengharuskan berkoalisi. Karena berkoalisi membuat tidak pede dengan partainya sendiri. Soalnya akan dituntut memenuhi kuota. Untuk itu, memang ada cara-cara idealisme. Tapi kenyataannya hanya demi memenuhi kuota. Akhirnya bargainnya bersifat materialistic,” sindirnya.
Makanya, kata dia, kalau partai sampai tidak punya calon, berarti kaderisasinya gagal. Koalisisasi ini bisa mengurangi semangat untuk memperjuangkan nilai-nilai yang ada dalam partai. Karena dia harus melakukan tawar-menawar dengan partai lain. “Justru koalisi bukan jadi alat bersatunya ideology kepentingan yang visioner, tapi bersatunya kepentingan yang pragmatis,” ulasnya.
Korupsi massal ini mungkin karena supaya sama-sama merasakan dan sama-sama menanggung resiko sebagai akibat dari upaya mengembalikan modal dari pencalonannya sebagai caleg, tapi Firman menilai, ini akibat system yang mengharuskan suara terbanyak. Maka caleg harus mencari sponsor untuk biaya lolosnya ke menjadi aleg (anggota legislatif).
Baca: http://semarak.co/fenomena-korupsi-massal-pengamat-lipi-ini-pengkhianatan-terhadap-reformasi/
Padahal, menurut dia, bisa dengan cara di list sama partainya. Lalu berjuang bareng-bareng dengan cara kolektif atas nama partai, nanti siapa pun yang terpilih, tentu dia yang ada dalam list. Tapi karena ini bertarung individual, sementara pendapatan Rp 10 miliar, dengan pengeluaran Rp 30-40 miliar, ini didapat dari sponsor,” rincinya.
Sementara kajian KPK, kutip Firman, semakin kemari, pemberi sponsor ini makin minta jatah. “Kalau dulu, sponsor masih ada idealisnya. Sehingga nalursi seorang caleg untuk menjadi aleg, bagaimana membagi pada sponsornya. Ini sumber dari potensi korupsi,” ungkapnya.
Bahaya dari cari sponsor, tentu pada kualitas. “Orang yang paham politik berpangalaman tapi tidak mampu membayar timses untuk blusukan. Akibatnya dia pintar secara konseptual, tapi kalah strategi oleh mereka yang lemah dengan timses yang jalan. Karena si caleg harus bertarung memperebutkan kursi, akhirnya masing-masing harus punya logistic yang kuat. Logistik ini darimana? Ya sponsor. Padahalnya, sponsor yang didapat pun, bisa buat partai demi kemenangan bersama,” urainya.
Ketiga adalah anggaran caleg yang ditanggung partai agar meminimalisir beban biaya. Dalam anggaran parpol yang sudah lengkap diatur UU Pemilu maupun UU Parpol, nilai dia, sebenarnya bisa buat caleg juga. “Ada tesis begini, kalau partai kuat dan mampu membesarkan kadernya, itu akan membuat kadernya mandiri. Sehingga tidak lagi ada bocor-bocor untuk kebutuhan dirinya,” tukasnya.
Bantuan dari partai pun, nilai dia, harus tetap muaranya mengasah kemampuan si kader. Karena bantuan itu terkait konditenya, maka semakin baik konditenya, bantuan partai akan makin besar. “Ini lebih mendidik ketimbang menyediakan saja dana yang ujung-ujungnya hanya akan memanjakan,” pesannya.
Sekarang bakal caleg sudah hampir pasti ditetapkan menjadi DCT (daftar caleg tetap), 23 September ini, maka Firman mengingatkan, demokrasi itu mahal. Jadi masing-masing caleg harus menyadari dan memahami itu. “Caranya mencari sumber-sumber keuangan harus cerdas dan bisa dipertanggungjawabkan. Kuncinya transparansi dan komitmen. Untuk ini, saya pikir harus ada pola kontrak politik antara sponsor dan kader. Setidaknya atas dasar idealisme. Bukan atas dasar poilitik dagang sapi,” kata dia.
Firman menyayangkan, masalah adanya apatisme masyarakat sekarang ini. Jadi control di level masyarakat sipil, termasusk pers belum maksimal. Pengawasan mahasiswa sebenarnya bagus. Namun, entah karena mahasiswa semakin apatis, akhirnya jadi opportunis.
“Artinya, generasi milenial adalah generasi yang berhenti. Dia berpikir dapat apa dulu, baru mau bergerak. Tanpa ada apa-apanya, mereka berpikir ngapainlah jadi alat kontrol. Sayangnya lagi, ini sudah menggejala dan ini terjadi di Perguruan Tinggi Negeri pula, yang notabene dibiayai rakyat,” kecamnya.
Tapi diyakini Firman, kalau generasi milenial itu dipanas-panasi media, pasti akan panas juga. Misalnya, ada statement yang menggelagar, massif, komprehensif, dicarikan data-data yang lebih telanjang mengenai fenomena korupsi yang kemudian terbit di media-media. “Saya kok yakin mereka akan bergerak menjadi alat control,” tutupnya. (lin)