Keputusan Bawaslu yang meloloskan mantan narapidana (napi) korupsi maju sebagai calon anggota legislatif menjadi kontroversial karena memang masalah koruptornya. Pengamat politik LIPI Firman Noor mengatakan, meskipun secara undang-undang keputusan Bawaslu itu tidak bisa disalahkan.
“Dalam UU No 7 Tahun 2017 Tentang Pemilu, tidak menyaratkan soal mantan narapidana korupsi. Di situ hanya menyebutkan secara jelas mantan napi Narkoba dan terkait kejahatan asusila terhadap anak,” ungkap Firman di ruang kerjanya gedung LIPI, kawasan Gatot Soebroto, Jakarta Selatan, Selasa (4/9).
Atas dasar itulah, lanjut Firman, Bawaslu melihat mantan napi korupsi mempunyai hak maju sebagai caleg. Namun di sisi lain, ada Peraturan KPU (PKPU) No 20 Tahun 2018 Tentang Persyaratan caleg yang mengisyaratkan bahwa yang layak untuk menjadi caleg adalah terbebas dari tiga perkara tadi, yaitu mantan napi Narkoba dan kejahtan asusila pada anak plus mantan napi koruptor.
“Kedua lembaga ini memiliki pegangan yang berbeda-beda. Bawaslu memegang UU Pemilu yang satunya memegang PKPU. Masing-masing bersikeras dan punya penafsiran yang berbeda pula terhadap PKPU itu. Pihak KPU sebenarnya berharap PKPU itu menjadi tuntunan utama bagi Bawaslu dalam memutuskan persoalan-persoalan ini. Sementara rujukan Bawaslu rupanya bukan PKPU, tapi UU Pemilu,” ungkapnya.
Memang disayangkan, kata Firman, waktu UU Pemilu itu disahkan tidak termasuk mantan napi korupsi. “Sementara kita sudah sepakati bahwa kita melakukan perang besar-besaran terhadap korupsi,” katanya.
Jadi, nilai Firman, mereka yang terkena kasus korupsi itu harus dihukum sedemikian berat. Agar generasi muda kita akan sangat berhati untuk melakukan korupsi. Karena dia juga akan tercabut hak-hak politiknya. Utamanya para caleg baru yang maju di Pileg 2019.
Meskipun ada yang mengatakan, kutip Firman, UU Pemilu itu sebetulnya tidak berarti setuju bahwa koruptor bisa maju jadi caleg. Karena ada azas namanya berkeadilan dan kebermanfaatan. Sementara politik itu masalah trush (kepercayaan), lanjut dia, dengan caleg mempunyai rekam jejak mantan koruptor, pastilah tidak ada lagi kepercayaan masyarakat.
“Kalau mantan koruptor diboleh maju, maka di mana azas keadilan kebermanfaatannya. Kemudian ada juga yang mengatakan, UU Pemilu ini tidak akan membuat kapok orang untuk berbuat korupsi. Karena tetap ada peluangnya,” kutipnya.
Diakui PKPU ini sedang digugat para mantan napi korupsi di Mahkamah Agung (MA). Firman meminta MA agar mendengar aspirasi rakyat. “Mereka yang mengatasnamakan aspirasi rakyat, seperti lembaga-lembaga swadaya masyarakat bahkan partai-partai politik ternyata mayoritas cenderung untuk menyayangkan keputusan Bawaslu itu. Jadi dari sisi mana lagi yang kurang agar MA bisa lebih proaktif dan aspiratif dalam mendengar spirasi rakyat,” pesannya.
Apalagi korupsi ini daya rusaknya luar biasa. “Ini bisa merusak generasi secara masif. Misalnya, jalanan yang menghubungkan satu desa ke desa lain mengalami rusak akibat anggarannya dikorupsi sehingga kehidupan masyarakat jadi terpencil, lalu gedung sekolah yang atapnya bocor bahkan ambruk. Ada lagi rumah sakit yang rusak parah akibat korupsi.
“Ini merugikan bangsa secara umum. Kalau memang kita semua serius memberantas korupsi semua ekses kita tutup dan beri pelajaran. Jadi ada sense of politic-nya. Karena itu, tidak mengherankan kalau mayoritas yang menyayangkan keputusan Bawaslu itu,” sindirnya.
Firman menilai Bawaslu tidak memiliki sensifitas. Karena Bawaslu beralasan setiap sengketa yang diajukan caleg ke Bawaslu wajib digelar dan kedua terkait UU Pemilu tadi. “Bukan soal mengapa Bawaslu dari awal tidak tegas dengan menolak menggelar sidang sengketa, tapi karena sensifitasnya,” ujarnya.
Ini, kata dia, yang ramai-ramai disayangkan masyarakat. Karena memang undang-undang itu sudah baku. “Saking bakunya, saya melihat, Bawaslu malah menyerahkannya ke MA dan bersedia menunggu keputusan MA. Kalau memang MA setuju dengan KPU, Bawaslu mengaku legowo kok,” kutipnya.
Tapi ada cara yang lebih cepat, kata dia, yaitu kembali ke parpol. “Ganti saja langsung calegnya yang terindikasi mantan napi korupsi. Proses di MA itu lama karena sesuai prosedur. Tapi masih bisa dipakai hasil keputusannya, meskipun sudah diumumkan tahapan DCT (daftar caleg tetap). Itu yang saya dengar. Karena proses peradilannya uji materi di MA itu, sekitar akhir Oktober sampai awal Nopember 2018,” ujarnya.
Diakui agak aneh kalau koruptor betul-betul bisa masuk dalam pencalegan. Meskipun secara hukum sudah menjalani hukuman yang berarti sudah dibersihkan dan haknya harus dipulihkan sebagai bagian hak warga negara.
“Tapi politik ini tidak bisa didekati murni dengan hukum. Jadi apakah kita mau murni ke undang-undang atau kita menangkap sense lain dari suasana kebatinan kita. Bahwa kita harus perang total pada korupsi,” ajaknya.
Soal peluang KPU tidak mengikuti Bawaslu, Firman mengingatkan, kalau MA setuju dengan Bawaslu, maka akan ada koreksi lagi. “Walaupun koreksinya kalau dilihat dari proporsinya tidak banyak. Walau segelintir caleg, tapi demi pemberantasan korupsi dan partai ikut menerima demi pencitraannya. Kecuali dilawan lagi sama partai, jadi panjang urusannya,” paparnya.
Peluang Bawaslu disengketakan ke DKPP, Firman mengaku sangat mungkin. Malah ini menjadi solusi ketiga setelah lewat MA dan partai. “Saya kira masyarakat harus terus menyuarakan aspirasi ini sampai ke DKPP. Ini momentum besar yang akan diingat oleh sejarah karena hak koruptor itu betul-betul dimutilasi,” tutupnya. (lin)