Kondisi ekonomi global yang saat ini masih bergejolak membuat surat berharga pemerintah tertekan. Indonesia pun mengambil langkah dengan mengambil utang dari Asian Infrastructure Investment Bank (AIIB) asal China. Indonesia menjajaki sejumlah pengembangan kerja sama pembangunan infrastruktur melalui Kementerian Perencangan Pembangunan Nasional Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (PPN/Bappenas).
Menteri PPN/Bappenas Bambang Brodjonegoro mengatakan, selama ini kerja sama kedua pihak telah dilakukan untuk pengerjaan dan pengembangan sekitar lima sektor di Indonesia. Ke depan, kata Bambang, pemerintah akan memperluas pembiayaan melalui AIIB ke sektor lain seperti energi terbarukan.
“Kita memang membahas pipeline yang ada untuk Indonesia. Karena setelah AIIB berdiri beberapa tahun, portofolio pinjaman AIIB ke Indonesia umlahnya masih relatif kecil,” ujar Bambang Brodjonegoro usai pertemuan di Kantor Bappenas, Jakarta, Rabu (29/8).
Hal itu dilakukan guna membiayai proyek infrastruktur yang saat ini tengah didorong pemerintah dan tidak membebani anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN). “Pemerintah akan lebih banyak memanfaatkan pinjaman dari AIIB di tengah kondisi ekonomi saat ini. Pasalnya, pinjaman AIIB memiliki bunga yang lebih rendah dibandingkan pinjaman komersil ke bank atau pinjaman ke pasar modal (surat utang),” imbuhnya.
Jadi, nilai Bambang, tidak menambah beban utang pemerintah dan kalau kita bisa memanfaatkan AIIB lebih banyak, berarti dalam kondisi di mana surat berharga negara sedang mengalami tekanan dari penguatan USD. Tentunya kebutuhan pembiayaan sebagian bisa di-handle oleh pinjaman seperti dari AIIB.
“Dalam pertemuan tadi saya sudah menyampaikan kesiapan kita untuk menyiapkan list dari kegiatan di infrastruktur yang nantinya akan bisa dibiayai oleh AIIB, baik sendiri maupun bersama dengan lembaga pinjaman lainnya seperti bank dunia maupun bank investment di Eropa,” jelasnya.
Selain energi terbarukan, pembiayaan pembangunan infrastruktur melalui AIIB juga akan diperluas untuk pengembangan angkutan massal berbasis rel baik elevated maupun di bawah tanah. Pembiayaan melalui AIIB untuk proyek ini dipastikan tidak akan menambah porsi utang pemerintah.
“Jadi ada pembiayaan dari AIIB yang melalui goverment terutama proyek angkutan massal rel dan juga menyumbang energi. Ya mungkin separo separo dengan pemerintah tapi mungkin lebih banyak yang ke swasta dan KPBU dan PINA ini memang sifatnya nanti langsung dari AIIB ke swasta,” jelasnya.
“Jadi tidak menambah beban utang pemerintah. Jadi itu inti pembiacaraan kita. Dan kalau kita bisa memanfaatkan AIIB lebih banyak berarti dalam kondisi di mana surat berharga negara sedang mengalami tekanan dari penguatan USD maka tentunya kebutuhan pembiayaan sebagian bisa di-handle oleh pinjaman seperti dari AIIB,” tandasnya.
Selain itu, kata Bambang, pinjaman dari AIIB juga dinilai memiliki keuntungan berupa persyaratan yang mudah karena tidak mengikat. “Tentunya kelebihan lain dan ini multilateral development bank katagorinya, maka dia tidak punya persyaratan yang mengharuskan pakai teknologi tertentu atau keharusan-keharusan yang mengikat lainnya,” tutup dia.
Sekadar informasi, pemerintah saat ini tengah menawarkan daftar proyek yang difokuskan pada sektor transportasi berbasis rel dan energi terbarukan kepada AIIB. “Pinjaman dari AIIB akan difokuskan untuk membiayai proyek-proyek angkutan umum massal berbasis rel atau kereta dan juga energi terbarukan,” rincinya.
Diakuinya, kota-kota besar memerlukan transportasi massal yang efisien untuk menunjang kegiatan masyarakat di kota tersebut dan itu menjadi perhatian dari pemerintah. “Yang saya sampaikan hanya di kota besar, kota besar yang sedang membutuhkan. Kita punya ‘list’-nya, tapi kita mesti bicarakan secara teknis,” ujarnya. (lin)