Written by B. Wiwoho *
semarak.co-Peristiwa Malari yang terjadi pada 15 – 16 Januari 1974, adalah kerusuhan yang berkobar sebagai dampak berganda dari gerakan mahasiswa yang secara kritis dan berani, menyikapi strategi pembangunan di awal Orde Baru. Strategi tersebut melahirkan persekongkolan kekuatan ekonomi dengan kekuasaan politik.
Ironisnya meski sesudah itu strategi pembangunan sempat dikoreksi, kini berlangsung kembali strategi pembangunan yang sangat diwarnai kekuatan oligarki, yang merupakan persekongkolan pengusaha – penguasa, atau dwifungsi gaya baru pengusaha –penguasa.
Strategi pembangunan yang ditentang mahasiswa 48 tahun silam itu mengutamakan pertumbuhan ekonomi, yang antara lain ditandai dengan masuknya perusahaan-perusahaan Multi National Corporation (MNC) asing, yang membawa modal serta melakukan investasi secara besar-besaran dan leluasa di Indonesia akhir 1960an, dengan segala perlakuan istimewanya.
Strategi pertumbuhan dimaksudkan untuk menciptakan kue pertumbuhan lebih dulu, sesudah ada kue yang cukup, baru dilakukan pemerataan, sesuai apa yang dikenal sebagai trickle down theory, strategi menetes ke bawah. Tumbuh makmur dulu baru dibagi secara adil.
Akibatnya usaha-usaha kecil, industri rakyat, industri rumah tangga lumat tergilas oleh bisnis dan industri besar MNC. Strategi pertumbuhan yang seperti itu secara cepat dan kasat mata mempertontonkan ketidakadilan di dalam masyarakat, dan bertentangan dengan tata nilai masyarakat yang menjunjung tinggi nilai gotongroyong dan kebersamaan.
Masalah strategi pembangunan termasuk Peristiwa Malari yang menyertainya, ditulis panjang lebar oleh B. Wiwoho, dalam buku pertama trilogi TONGGAK-TONGGAK ORDE BARU. Buku trilogi (tiga buku) yang mengungkapkan perjalanan berbangsa dan bernegara selama 35 tahun khususnya di masa Orde Baru ini.
Insya Allah akan diluncurkan di tengah acara ulang tahun ke 22 Indemo (Indonesian Democracy Monitor) sekaligus memperingati 48 tahun Peristiwa Malari, Sabtu 15 Januari 2022 di Jakarta. Sejak awal, sejumlah cendekiawan, bahkan juga proklamator Bung Hatta sudah mengingatkan dan kurang percaya pada strategi pertumbuhan yang mengejar pendapat kotor nasional serta pendapatan per kapita.
Beliau tak setuju terhadap mereka yang beranggapan bahwa kue nasional harus besar dulu baru dibagi. Strategi pertumbuhan gagal karena dalam kenyataannya golongan termiskin dalam banyak hal hanya menerima bagian kecil, atau benar-benar tetesan dan bukan kucuran apalagi gerojogan dari pendapatan nasional yang bertambah besar.
Ketidakadilan tersebut mengguncang perasaan terdalam para mahasiswa, yang kemudian menyelenggarakan diskusi 13 – 16 Agustus 1973 di Universitas Indonesia, Salemba, dengan tema “Meninjau Kembali Strategi Pembangunan dan Kebijaksanaan Modal Asing, serta Masalah Ketimpangan dalam Pembagian Hasil Pembangunan.”
Ketidakadilan dan Kesenjangan
Perihal ketidakadilan dan kesenjangan sosial ekonomi, di masa sekarang pun hal itu tetap menjadi sorotan. Oxfam Indonesia bersama NGO Forum on Indonesia Development (INFID) mengumumkan penelitiannya tentang kekayaan 4 (empat) orang terkaya Indonesia pada 2016 sama dengan 100 juta rakyat miskin Indonesia (detikfinance, 23 Februari 2017).
Pada waktu yang hampir sama, yakni awal 2017, Lembaga Keuangan Swis – Credit Suisse, mengeluakan hasil riset mengenai ketimpangan kekayaan di berbagai negara. Indonesia masuk dalam 9 besar negara dengan kekayaan tidak merata. Satu persen orang Indonesia telah menguasai 49,3 persen kekayaan nasional. (B.Wiwoho, Tonggak-Tonggak Orde Baru buku 3: 256).
Luar biasa dan belum pernah terjadi kembali (setidaknya sampai awal 2022), diskusi mahasiswa Agustus 1973 tadi segera menggelinding dengan cepat, menjadi sebuah travelling discussion ke berbagai kampus dan daerah yang dimotori Dewan Mahasiswa Universitas Indonesia (UI) yang dipimpin Hariman Siregar, Gurmilang Kartasasmita.
Lalu Judil Herry Justam, Eko Djatmiko, Salim Hutadjulu, Bambang Sulistomo dan kawan-kawan. Bagaikan gelombang laut yang bergulung sambung-menyambung, melibatkan bukan hanya kalangan mahasiswa tapi juga tokoh masyarakat, dosen, pengacara, wartawan, budayawan dan lain-lain.
Hal ini diakui bahkan istilah travelling discussion, dikemukakan oleh Kepala BAKIN Jenderal Yoga Sugomo (Jenderal Yoga, Loyalis di Balik Layar, B.Wiwoho dan Banjar Chaeruddin, Penerbit Buku Kompas, 2018:144). Meskipun pada awalnya diskusi- diskusi tersebut hanya dihadiri beberapa puluh orang saja.
Tapi karena bersifat terbuka, diliput oleh wartawan dan terjadi terus- menerus, diikuti oleh lintas generasi dan lintas disiplin dengan thema sentral yang sama, serta menyentuh titik-titik rawan dari keresahan sosial, maka dengan cepat membentuk suatu gerakan yang berpotensi eksplosif.
Yang juga menarik diamati, Hariman Siregar dkk, baru terpilih menjadi pengurus Dewan Mahasiswa UI 30 Juni 1973, sedangkan dia sendiri baru berusia 23 tahun. Gerakan para mahasiswa yang dalam tempo amat cepat berkembang menjadi gerakan antar kampus dari berbagai daerah, mencengangkan para aktivis yang lebih senior yang kemudian pada umumnya memberikan dukungan.
Para mahasiswa bergerak dengan menggemakan 4 tuntutan, yang dikumandangkan dalam rangkaian acara memperingati Sumpah Pemuda, di Taman Makam Pahlawan Kalibata, Jakarta, pada tanggal 24 Oktober 1973 yaitu:
1. Strategi pembangunan perlu ditinjau kembali. Strategi yang baru hendaknya menciptakan keseimbangan di bidang politik, sosial dan ekonomi.
2. Rakyat harus dibebaskan dari ketidakpastian hukum, korupsi serta penyelewengan-penyelewengan kekuasaan.
3. Perlunya refungsionalisasi lembaga-lembaga penyalur pendapat rakyat.
4. Penentuan masa depan adalah hak dan kewajiban generasi muda.
Kegiatan berikutnya yang memperoleh liputan luas media massa adalah Malam Tirakatan 31 Desember 1973 di halaman depan Kampus UI Salemba Raya. Pada malam pergantian tahun itu hadir sejumlah dosen, perwakilan berbagai Dewan Mahasiswa dari Jakarta, Bogor dan Bandung.
serta tokoh-tokoh masyarakat yang ikut berpidato berapi-api. Pada malam itu Hariman Siregar berpidato sekitar setengah jam menyoroti berbagai aspek kehidupan berbangsa dan bernegara, yang jika kita renungkan, substansinya tak berbeda jauh dengan keadaan sekarang ini.
Tentang pembangunan ekonomi misalkan, ia mengatakan, hasil nyata dari pembangunan ekonomi adalah sejak Pelita hingga berakhir pada 1974 walaupun bertumbuh tujuh persen setahun, ketidakadilan sosial dan ekonomi semakin nyata. Ketidakadilan dan pengangguran semakin terasa dibanding dengan waktu-waktu yang lalu.
Kita kutip lebih lanjut, “Ini disebabkan bersatunya kekuatan-kekuatan ekonomi yang menguasai uang dan sumber-sumber ekonomi dengan kekuasaan politik dalam bentuk popular berupa kerjasama antara kelompok Cina dan jenderal-jenderal. Tidak mengherankan jika sebagian rakyat yang tidak jenderal dan tidak Cina, tidak menikmati pembangunan seperti sekarang ini.”
Terang bagi kita, katanya, sebagai unsur masyarakat dan universitas tidak mungkin menjadi Cina dan jenderal, sehingga alternatif pembangunan yang terbuka adalah menyadarkan jenderal-jenderal dan Cina-Cina menjadi warga negara biasa seperti sebagian rakyat. Kalau tidak, maka kemungkinan lain yang harus ditempuh.
Pemerintah sering mendengung-dengungkan pembangunan ekonomi dalam bentuk ditekannya inflasi, meningkatnya pertumbuhan ekonomi, berlangsungnya industri-industri barang dan jasa dalam kepesatan pertumbuhan yang fantastis.
Tetapi kalau hasil- hasil itu dikuliti, sesungguhnya isinya tidak lebih dari berlangsungnya sistem ekonomi kapitalis di mana sebagian kecil masyarakat mengisap bagian terbesar rakyat. “Ini bukan mengada-ada, karena tidak kurang dari seorang Dr.Hatta, seorang konseptor ide pembangunan ekonomi dalam UUD’45, menyatakan demikian.”
Pada kesempatan itu Hariman mengajukan pertanyaan kepada pemerintah: apakah pembangunan ekonomi sudah menyeleweng dari UUD’45 atau tidak. “Kalau memang benar dan kami yakin benar, kami serukan kepada pemerintah untuk mengoreksi sistem ekonomi sekarang. Kalau tidak, katanya, mari kita bersama-sama mengoreksi pemerintah.”
Pada akhir pidatonya, ia dengan tegas menyatakan, tidak ada hasil yang diperoleh tanpa kerja keras, tanpa perjuangan, dan tanpa keberanian.
“Karena, kalau kita tidak mau dikekang, diancam, baik oleh kekuasaan maupun cecunguk- cecunguknya, maka kita mahasiswa harus berani bersikap dan bergerak untuk mewujudkan pendapat-pendapat yang telah diperolehnya. Ingat, pada akhirnya yang menentukan bukanlah analisis yang bagus-bagus yang ilmiah, tetapi tindakan nyata yang mengubah keadaan.”
Bagaimana kelanjutan dari Malam Tirakatan yang kemudian juga ditumpangi oleh berbagai kepentingan dan kekuatan lain yang berujung dengan apa yang kemudian kita kenal sebagai Peristiwa Malari, pada umumnya kita sudah tahu.
Jakarta rusuh dan membara. Peristiwa tersebut telah penulis tuangkan dalam buku Jenderal Yoga dan yang terbaru di dalam trilogi buku TONGGAK-TONGGAK ORDE BARU.
Penulis mewawancarai Menko Ekuin/Ketua Bappenas Prof. Dr. Widjojo Nitisastro 8 Januari 1974 tentang mengapa Pemerintah bersikukuh dengan strategi pertumbuhan trickle down effect theory.
Waspadai Invasi Senyap Perusahaan Dagang
Apalagi yang kita bisa cermati dari gerakan mahasiswa dan Peristiwa Malari tersebut? Secara kompak jaringan gerakan itu mampu menjaga untuk fokus pada thema sentral, yaitu mengoreksi strategi pembangunan nasional, dengan topik dan contoh-contoh kasus bahasan yang aktual dan langsung menyentuh masalah rakyat kecil.
Antara lain tersapunya industri-industri kecil dan rumahtangga oleh industri-industri besar yang tumbuh dengan fasilitas Penanaman Modal Asing maupun Dalam Negeri. Mengenai penetrasi kekuatan-kekuatan asing yang pada awal abad ke 21 ini juga sangat dominan, guru bangsa Letnan Jenderal (Purn) Sayidiman Suryohadiprojo menjelang wafat (16 Januari 2021),
Memberikan wasiat kepada penulis (B.Wiwoho, Membaca Nusantara Dari Afrika: Menelusuri Jejak Para Pejuang yang Terbuang, Pustaka IIMaN: 18 – 24 dan Tonggak-Tonggak Orde Baru buku 3, Penerbit Elmatera : 265 – 266) dalam sebuah tulisan berjudul, Belajar dari Invasi Senyap Perusahaan Dagang VOC.
Menurut Sayidiman, bangsa Indonesia kini kembali menghadapi berbagai ancaman dan tantangan dari luar, yang ingin menguasai Indonesia melalui tindakan ekonomi seperti investasi, yang mengakibatkan penguasaan wilayah, dengan dukungan kelompok orang Indonesia dan para pemimpin. “Kegiatan yang dinamakan proxy war ini sudah terjadi, “ tulisnya.
Para aktivis mahasiswa tahun 1973 itu menggemakan ketidakadilan sosial ekonomi dan penderitaan rakyat, yang disebabkan persekongkolan kekuatan-kekuatan ekonomi yang menguasai uang dan sumber-sumber ekonomi dengan kekuasaan politik dan oknum penguasa.
Aktivis gerakan nampaknya menggunakan strategi perang dari kelompok kecil melawan kekuatan yang jauh lebih besar, yaitu dengan fokus pada satu-dua medan pertempuran, namun dilakukan secara terus-menerus ibarat menempa besi, dari bahan mentah yang dingin, dibakar membara, ditempa tanpa henti dengan upaya sampai terbentuk sesuatu jenis senjata atau peralatan.
Mereka tidak membuka peperangan di segenap medan tempur sekaligus. Hal lain yang menarik dari Peristiwa Malari adalah beradunya kutub-kutub kekuatan di sekitar Presiden Soeharto di awal Orde Baru, Kutub yang dikenal sebagai Asisten Pribadi (Aspri) Presiden dan kutub Pangkopkamtib Soemitro.
Kutub Aspri yang dimotori oleh Ali Moertopo kuat dalam melakukan rancangbangun sosial dengan organisasi-organisasi profesi, kemasyarakatan dan politisi. Sedangkan Pangkopkamtib Soemitro dengan dukungan ABRI-nya bagaikan singa-singa yang baru dengan aumannya saja, bisa membuat orang terkencing-kencing.
Sejumlah jenderal temannya sendiri, telah terpenjara akibat auman itu. Timbul pertanyaan, apakah kedua kutub itu berbenturan dengan sendirinya ataukah ada peranan Soeharto di baliknya. Yang jelas, akibat Peristiwa Malari pada akhirnya kedua kutub tersebut dihapus, dan Soeharto melaju semakin kokoh menjadi penguasa tunggal. Nyaris berkuasa secara mutlak.
(Buku trilogi TONGGAK-TONGGAK ORDE BARU : 91 – 109. Nara hubung atau contack person WA: 08174892033).
sumber: panjimasyarakat.com/2022/01/13 di WAGroup SAHABAT DUNIA AKHIRAT (postJumat14/1/2022/@gusto(agt))