2 Anak Try Sutrisno Curi Perhatian Publik Usai Isu Pemecatan Wapres Gibran yang Diusulkan Forum Purn Prajurit TNI

Try Sutrisno, mantan Panglima ABRI dan Wapres RI semasa muda dan di masa kini. Foto: internet

Nama Letjen TNI Kunto Arief Wibowo dan Irjen Pol (Purn) Firman Shantyabudi belakangan ini ikut mencuri perhatian publik. Pasalnya keduanya diketahui adalah putra Jenderal TNI (Purn) Try Sutrisno yang ikut 8 tuntutan yang diajukan Forum Purnawirawan Prajurit TNI kepada Presiden Prabowo Subianto.

Semarak.co-Adapun salah satu tuntutan yang mencuat adalah usulan pemecatan Wakil Presiden (Wapres) Gibran Rakabuming Raka melalui lembaga Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) RI. Forum Purnawirawan Prajurit TNI sebelumnya secara resmi menyampaikan 8 tuntutan kepada Prabowo.

Bacaan Lainnya

Sejumlah nama besar membubuhkan tanda tangan di dokumen itu, di antaranya Jenderal TNI (Purn) Fachrul Razi, Jenderal TNI (Purn) Tyasno Soedarto, Laksamana TNI (Purn) Slamet Soebijanto, Marsekal TNI (Purn) Hanafie Asnan, dan banyak lagi.

Menariknya, dokumen ini juga memuat pengesahan dari Jenderal TNI (Purn) Try Sutrisno sebagai pihak yang mengetahui. Jumlah yang terlibat pun tak sedikit. Total, ada 103 jenderal, 73 laksamana, 65 marsekal, dan 91 kolonel yang menandatangani dokumen tersebut.

Kisruh politik ini secara tidak langsung menyeret perhatian kepada dua anak Try Sutrisno, yakni Letjen TNI Kunto Arief Wibowo dan Irjen Pol (Purn) Firman Shantyabudi. Letjen TNI Kunto Arief Wibowo saat ini masih aktif bertugas. Ia menjabat sebagai Panglima Komando Gabungan Wilayah Pertahanan I, salah satu posisi strategis di tubuh TNI.

Sebelumnya, Kunto juga pernah menduduki jabatan sebagai Staf Ahli Bidang Ekonomi di Sekretariat Jenderal Wantannas. Sementara itu, sang kakak, Irjen Pol (Purn) Firman Shantyabudi, telah resmi pensiun dari Polri.

Jabatan terakhir yang diembannya sebelum purnatugas adalah Kepala Korps Lalu Lintas (Kakorlantas) Polri dan Asisten Logistik Kapolri. Sebagai tambahan, keduanya juga memiliki hubungan keluarga dengan Jenderal TNI (Purn) Ryamizard Ryacudu, yang tak lain adalah ipar mereka.

Apakah berdampak pada karier Kunto Arief yang saat ini masih aktif?

Letjen TNI Kunto Arief Wibowo merupakan lulusan Akademi Militer (Akmil 1992) yang berasal dari kecabangan Infanteri (Raider). Kunto Arief Wibowo pernah menduduki sejumlah jabatan strategis selama meniti karir kemiliteran di TNI AD.

Selama meraih bintang dua di pundak, Kunto Arief Wibowo pernah jadi Pangdivif 3/Kostrad periode 2021—2022. Setelahnya Kunto Arief Wibowo dipromosikan dengan menduduki jabatan Pangdam III/Siliwangi pada 2022—2023. Tidak lama berselang, Kunto Arief Wibowo dipercaya menduduki posisi Wadankodiklatad pada periode 2023—2024.

Adapun selama masih menyandang bintang satu alias Brigadir Jenderal (Brigjen) TNI, dirinya juga sempat menduduki posisi lainnya. Kunto Arief Wibowo pernah menjadi Danrem 032/Wirabraja pada tahun 2018—2020 disusul kemudian jadi Kasdam III/Siliwangi pada 2020—2021 silam.

Pertama dari Matra Darat

Penunjukan Kunto Arief Wibowo sebagai Pangkogabwilhan I sekaligus memutus tradisi yang ada selama ini. Pasalnya jabatan Pangkogabwilhan I selama ini selalu ditempati jenderal bintang tiga dari matra laut alias TNI AD.

Kapuspen TNI Mayjen TNI Hariyanto mengungkapkan alasan dibalik penunjukan yang tidak biasa tersebut. Hariyanto beralasan rotasi lintas matra seperti pada jabatan Pangkogabwilhan I adalah hal yang biasa terjadi di TNI.

“Penempatan jabatan di lingkungan TNI, termasuk Pangkogabwilhan I, dilakukan berdasarkan mekanisme internal yang mempertimbangkan kebutuhan organisasi, pengalaman, serta kompetensi perwira yang bersangkutan,” kata Hariyanto, Rabu (11/12/2024).

Selain itu penunjukan Kunto juga sebagai bagian penyegaran di struktur kepemimpinan sekaligus upaya sinergitas yang optimal di lingkungan Kogabwilhan I. Ia juga menyinggung bahwa jabatan Pangkogabwilhan I yang kini diisi oleh perwira tinggi TNI AD

Sekaligus untuk mendukung pertahanan yang menjadi tupoksi Kogabwilhan I. “Rotasi lintas matra adalah hal yang biasa terjadi di TNI. Ini menunjukkan fleksibilitas dan profesionalisme TNI untuk mendukung pelaksanaan tugas pertahanan Negara,” tegasnya.

Sebelumnya, Penasihat Khusus Presiden Bidang Politik dan Keamanan Jenderal TNI (Purn) Wiranto mengungkapkan respons Presiden Prabowo Subianto menyikapi 8 tuntutan Forum Purnawirawan Prajurit TNI, salah satunya pergantian Wakil Presiden (Wapres) Gibran Rakabuming Raka kepada MPR.

Wiranto mengungkapkan bahwa dirinya telah mendapat izin langsung dari Presiden Prabowo untuk menyampaikan sikap resmi atas 8 poin usulan yang diajukan Forum Purnawirawan TNI itu. “Sore ini saya baru saja menghadap Presiden, banyak hal yang dibicarakan,” imbuhnya.

Tapi ada satu hal yang memang saya diizinkan untuk menyampaikan kepada saudara-saudara sekalian, ya sehubungan dengan surat usulan atau saran-saran dari Forum Purnawirawan TNI yang isinya delapan poin, ya delapan butir itu,” ujar Wiranto kepada awak media di Istana Kepresidenan, Jakarta, Kamis (24/4/2025).

Wiranto mengungkapkan, Presiden Prabowo menghormati dan memahami usulan yang disampaikan secara terbuka oleh para purnawirawan. Dia menyebut Presiden Prabowo bahkan memiliki kedekatan emosional dengan para purnawirawan, mengingat latar belakang dan nilai-nilai perjuangan yang sama.

“Nah di sini tentunya Presiden memang menghormati dan memahami ya pikiran-pikiran itu. Karena kita tahu beliau dan para Purnawirawan satu almamater ya, satu perjuangan, satu pengabdian, dan tentu punya sikap moral yang sama ya dengan jiwa sapta marga ya dan sebuah prajurit itu. Karena itu, beliau memahami itu,” pungkas Wiranto.

Namun demikian, Wiranto mengatakan bahwa Presiden tidak bisa serta-merta memberikan jawaban atas usulan tersebut karena berbagai pertimbangan. “Namun tentunya Presiden sebagai Kepala Negara, Kepala Pemerintahan, Panglima Tertinggi TNI tidak bisa serta-merta menjawab itu, spontan menjawab tidak bisa,” jelasnya.

Wiranto juga menegaskan bahwa Presiden Prabowo tidak akan mengambil keputusan hanya berdasarkan satu sumber masukan. Dia mengatakan, Presiden Prabowo akan selalu mempertimbangkan banyak hal dan berbagai pandangan sebelum mengambil kebijakan.

“Kan beliau perlu mempelajari dulu ya isi dari statement itu, isi dari usulan-usulan itu. Dipelajari satu per satu, karena itu masalah-masalah yang tidak ringan ya, masalah yang sangat fundamental ya,” sambung Wiranto dilansir tribuntrends.com melalui laman berita msn.com, Senin (28/4/2025).

Dilanjutkan Wiranto, “Maka usulan-usulan yang ya bukan bidangnya Presiden, bukan domain Presiden, tentu Presiden tidak akan menjawab atau merespon itu. Nah lalu yang ketiga, kebijakan Presiden atau keputusan Presiden atau arahan Presiden ya, tidak semata-mata muncul dari satu sumber.”

“Presiden mendengarkan, tapi tidak hanya satu sumber, kemudian Presiden mengambil keputusan, mengambil kebijakan. Saya mengimbau agar masyarakat tidak terjebak dalam polemik berkepanjangan,” demikian Wiranto yang mantan Ketua Umum Partai Hanura menambahkan.

“Presiden Prabowo berpesan tadi kepada saya, akan disampaikan kepada masyarakat agar tidak ikut berpolemik masalah ini, tidak ikut menyikapi pro dan kontra, karena hanya akan menimbulkan kegaduhan-kegaduhan yang akan mengganggu kebersamaan kita, keharmonisan kita sebagai bangsa,”pungkasnya.

Sosok Try Sutrisno

Try Sutrisno saat ini berusia 89 tahun. Pensiunan jenderal TNI bintang empat ini lahir pada 15 November 1935. Ia mencapai puncak karier militer pada tahun 1988. Saat itu, ia ditunjuk sebagai Panglima ABRI (Pangab) untuk menggantikan L.B. Moerdani.

Dalam artikel wikipedia, sebagai Panglima ABRI, Sutrisno menghabiskan banyak waktu untuk menumpas pemberontakan di seluruh Indonesia. Target langsungnya adalah separatis di Aceh, yang berhasil ditekan pada 1992. Pada tahun 1990, ada Insiden Talangsari, di mana Try Sutrisno mengulangi tindakannya pada tahun 1984 dengan menindak kelompok demonstran Islam.

Pada bulan November 1991, di Provinsi Timor Timur, sekelompok mahasiswa menghadiri pemakaman seorang teman mereka yang telah ditembak mati oleh pasukan Indonesia dan mereka mengambil kesempatan untuk meluncurkan protes terhadap pendudukan Indonesia.

Pada prosesi pemakaman, para mahasiswa menggelar spanduk untuk penentuan nasib sendiri dan kemerdekaan, menampilkan gambar pemimpin kemerdekaan Xanana Gusmão. Ketika prosesi tersebut memasuki kuburan, pasukan Indonesia mulai menembak.

Dari orang-orang yang berdemonstrasi di kuburan, 271 tewas, 382 terluka, dan 250 menghilang. Insiden, yang dikenal sebagai Insiden Dili ini, memicu kecaman dari masyarakat internasional seluruh dunia. Try Sutrisno kemudian diundang untuk berbicara di hadapan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) untuk menjelaskan dirinya sendiri.

Try Sutrisno mengatakan dua hari setelah pembantaian: “Tentara tidak dapat diremehkan. Akhirnya kami harus menembak mereka. Berandalan seperti agitator ini harus ditembak, dan mereka akan …. “.

Try Sutrisno memberikan pembelaan keputusannya dan menyatakan bahwa pengunjuk rasa memprovokasi tentara dan bahwa klaim bahwa protes yang damai adalah “omong kosong”.

Masa jabatan Try Sutrisno sebagai Panglima ABRI berakhir pada bulan Februari 1993. Ketika Try berhenti dari posisinya sebagai Pangab dan sebulan sebelum Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) dijadwalkan bertemu untuk memilih Presiden dan Wakil Presiden baru, anggota MPR dari fraksi ABRI mencalonkan Try Sutrisno untuk menjadi Wakil Presiden.

Secara teknis, anggota fraksi MPR diizinkan untuk mengajukan calon mereka untuk Wakil Presiden. Tapi aturan tak tertulis dalam rezim Soeharto adalah menunggu Presiden untuk mengajukan calon yang dipilihnya.

Anggota dari Partai Persatuan Pembangunan dan Partai Demokrasi Indonesia dengan cepat menyetujui pencalonan Try sementara Golkar berjuang dalam memberitahu anggotanya bahwa Golkar tidak mencalonkan Try sebagai Wakil Presiden.

Soeharto dilaporkan marah karena telah didahului oleh ABRI, tetapi ia tidak ingin adanya perselisihan terbuka. Soeharto akhirnya menerima Try dan Golkar mencoba mengecilkan ketegangan dengan mengatakan telah membiarkan pihak lain dan ABRI mencalonkan kandidat Wakil Presiden mereka.

ABRI sudah membalaskan dendam mereka dari Sidang Umum MPR 1988 saat Soeharto memilih Sudharmono, seseorang tidak menyukai ABRI sebagai Wakil Presiden. Benny Moerdani yang pada tahun 1993 adalah Menteri Pertahanan, dia bertekad ABRI akan memilih Wakil Presiden bagi Suharto pada Sidang Umum MPR 1993.

Berspekulasi bahwa tidak pernah mendahului, Soeharto akan memilih baik BJ Habibie sebagai Wakil Presidennya atau memilih kembali Sudharmono. Meskipun ia telah menerima Try Sutrisno sebagai Wakil Presiden, namun Soeharto merasa tidak senang pada Wakil Presidennya.

Soeharto menunjukkan sedikit hal dan bahkan tidak berkonsultasi dengannya dalam proses pembentukan kabinet. Saat Soeharto berkunjung ke Mesir tahun 1995, Try dalam sebuah pemberitaan di harian nasional menyatakan jika dalam bisnis, anak pejabat jangan pakai nama bapaknya, pihak penguasa marah dan sejak itu pemberitaan Try Sutrisno di harian manapun ditiadakan.

Pengabaian lainnya datang pada akhir 1997 ketika Soeharto harus pergi ke Jerman untuk menerima perawatan kesehatan. Alih-alih mendelegasikan Try Sutrisno untuk menjalankan tugas Presiden, Soeharto memerintahkan Menteri Sekretaris Negara, Moerdiono untuk datang ke kediamannya untuk menerima tugas Presiden.

Sebuah KTT APEC juga dihadiri oleh Menteri Luar Negeri, Ali Alatas. Try Sutrisno adalah figur yang sangat populer dan banyak yang mengira bahwa ia akhirnya akan menggantikan Soeharto sebagai Presiden Indonesia.

Karena dia memiliki latar belakang militer, ia akan diterima oleh ABRI. Pada saat yang sama, dia juga seorang kandidat yang diterima elemen Islam di Indonesia, dibesarkan bersama sebuah sekolah Islam.

Pada tahun 1998, pada Sidang Umum MPR lainnya yang akan diselenggarakan dan Asia Tenggara sedang menderita akibat Krisis Finansial Asia, banyak yang ingin Try Sutrisno untuk mengemban masa jabatan kedua sebagai Wakil Presiden.

Meskipun ada dukungan yang kuat, Try Sutrisno tidak menegaskan dirinya dan pilihan Soeharto untuk Wakil Kepresidenan diserahkan kepada Habibie. Pada Mei 1998, pada malam jatuhnya Soeharto, Try Sutrisno, bersama dengan Umar Wirahadikusumah dan Sudharmono mengunjungi Soeharto di kediamannya untuk membahas opsi yang memungkinkan.

Pada tahun 1998, Try terpilih menjadi Ketua Persatuan Purnawirawan ABRI (Pepabri). Ia berhasil membuat Pepabri bersatu menjadi satu di bawah kepemimpinannya meskipun suasana lazim pada waktu itu setiap cabang dari Angkatan Bersenjata memiliki persatuan purnawirawan mereka sendiri.

Try Sutrisno menyelesaikan masa jabatannya di posisi ini pada 2003. Try juga menjabat sebagai sesepuh partai untuk partainya Jenderal Edi Sudrajat, Partai Keadilan dan Persatuan Indonesia (PKPI).

Agustus 2005, Try Sutrisno bersama dengan Abdurrahman Wahid, Megawati Soekarnoputri, Wiranto, dan Akbar Tanjung membentuk sebuah forum yang disebut Gerakan Nusantara Bangkit Bersatu. Forum ini mengkritik pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono atas nota kesepahaman dengan Gerakan Aceh Merdeka (GAM).

Hal ini diikuti pada bulan September 2005 dengan kritik terhadap keputusan Yudhoyono menaikkan harga BBM. Try Sutrisno agak melunak sikapnya dengan pemerintah setelah pertemuan dengan Wakil Presiden Jusuf Kalla pada bulan September 2005.

Jusuf Kalla dikirim untuk menjelaskan alasan di balik kebijakan yang diambil terhadap GAM dan menaikkan harga BBM. Pada akhir pertemuan, Try mengatakan bahwa ia dapat memahami posisi pemerintah dan mendorong orang-orang untuk mendukung pemerintah dalam keputusan mereka. (net/tbc/msn/smr)

Pos terkait