Reklamasi Mau Dilanjutkan, FSU Bersama Minta Ubah Dulu Kepres No 52 Tahun 1995

aksi penolakan pembangunan reklamasi Teluk Jakarta

Proyek reklamasi terus menuai pro kontra di masyarakat. Utamanya kebijakan yang diambil Gubernur DKI Jakarta terpilih Anies Baswedan menghentikan proyek warisan Gubernur Ahok. Langkah Anies ini untuk memegang komitmen seperti disampaikan saat kampanye Pilkada DKI.

Ini lain dengan Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman Luhut Binsar Panjaitan. Luhut malah tetap melanjutkan dalam statementnya baru-baru ini. Alasan Luhut karena pengerjaan proyek reklamasi adalah urusan Pemerintah Pusat. Ini seakan mewanti-wanti Anies yang akan dilantik, Senin besok (16/10) di Istana Presiden oleh Jokowi.

Ketua OKK Forum Sandi Uno (FSU) Bersama, Tubagus Ahmad Kamil mengatakan, dinamika ini seharusnya bisa diselesaikan secara baik, arif, dan berimbang sehingga mendapatkan kesepakatan hasil yang sama-sama saling menguntungkan bagi pemerintah pusat maupun Pemda DKI. Khususnya warga Jakarta yang merasakan dampaknya dan lebih terutama lagi nelayan sekitar proyek reklamasi di kawasan Kepulauan Seribu.

“Harus diingat, pendahulu Luhut di Kemenko Kemaritiman, yaitu Rizal Ramli pastilah telah melakukan research secara ilmiah atas dampak dari pengerjaan reklamasi. Sehingga saat itu atas kesadarannya dan didukung berbagai pihak dilakukan moratorium pengerjaan reklamasi. Tapi Luhut ingin atau bersikeras proyek reklamasi ini malah ditangani pemerintah pusat agar bisa dilanjutkan,” tulis Kamil dalam rilisnya, Sabtu (14/10).

Menurut Kamil, sebaiknya diubah dulu Kepres No 52 Tahun 1995. Dalam pasal 4, dijelaskan wewenang dan tanggung jawab reklamasi semua itu ada pada Gubernur DKI Jakarta. “Nah, itu seharusnya diubah yang semula wewenang dan tanggung jawab reklamasi semua ada pada Gubernur menjadi Pemerintah Pusat. Itu mekanismenya. Jadi tidak ada lagi gaduh antara Pemerintah Pusat dengan Pemda DKI. Namun, kita dapat melihat ambisi dari Luhut menguntungkan atau merugikan bahkan jadi tendensius atau pantas mencurigai kepentingannya Luhut,” tuntasnya.

Terpisah korban reklamasi Teluk Jakarta yang tergabung dalam Aliansi Korban Reklamasi Jakarta (Akar) menggugat perjanjian nomor 33 tahun 2017 dan nomor 1/AKTA/ NOT/ VIII/ 2017 di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Kamis (12/10). Perjanjian itu terkait penggunaan atau pemanfaatan tanah di atas sertifikat hak pengelolaan nomor 45 / Kamal Muara pulau 2 A (Pulau D) antara Pemerintah Provinsi DKI Jakarta yang ditandatangani Sekretaris Daerah Saefullah dengan PT. Kapuk Naga Indah.

Advokat Akar Muhammad Taufiqurrahman mengatakan, ada dugaan perbuatan melawan hukum dalam perjanjian tersebut. Salah satunya, objek perjanjian bertentangan dengan Pasal 1320 KUH Perdata karena kausa tidak halal, mengingat masih berlakunya moratorium pada saat perjanjian dibuat.

“Ini sesungguhnya yang sedang kami uji bahwa jika dirunut dari perjanjiannya, maka sudah ada cacat formil. Kenapa cacat formil? Perjanjian ini dibuat sebelum moratorium dicabut. Jadi sudah pantas kita anggap ini barang haram,” papar Taufiq di lokasi.

Selain itu dia menilai perjanjian itu tidak melibatkan DPRD DKI. Padahal ketentuan pasal 9 Peraturan Pemerintah 50/2007 tentang Tata Cara Pelaksanaan Kerja Sama Daerah itu sudah diatur secara jelas. Lalu perjanjian itu juga bertentangan dengan pasal 5 Permendagri nomor 22/2009 karena tidak ada pembentukan tim koordinasi kerjasama daerah.

Objek Gugatan, sambung Taufiq, berimplikasi dengan terbitnya SK HGB dari BPN Jakarta Utara yang superkilat yang keluar di hari yang sama dengan surat permohonan HQB tanggal 23 Agustus 2017. “Pemprov DKI Jakarta yang diwakili Saefullah dan PT. Naga Indah sudah menandatangani perjanjian yang kausanya tidak halal. Oleh karena itu ini sudah layak untuk dibatalkan,” pungkasnya. (lin)

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *