Kerusuhan 21-22 Mei, Amnesty Internasional Sebut Polisi Akui Ada Kekerasan

Anggota Brimob menghada demonstran yang berujung kerusuhan. foto: internet

Amnesty International Indonesia menyebut polisi mengakui memang ada tindakan kekerasan secara eksesif (melampaui kebiasaan) oleh oknum polisi saat proses  pengamanan massa yang cenderung anarkis dalam kerusuhan, 21-22 Mei 2019 di sekitar Gedung Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu), Thamrin, Jakarta Pusat.

Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia Usman Hamid mengatakan, tidak menutup mata bahwa dari penelitiannya pada 28 rekaman video yang menunjukkan berbagai insiden kekerasan oleh massa. Di antaranya merusak kendaraan polisi, menyerang asrama polisi atau menyandera mobil pemadam kebakaran; yang semua itu sangat wajar ditindak polisi.

“Saya kira dalam pertemuan tadi, Pak Kapolda Metro Jaya juga sudah mengakui bahwa ada kekerasan eksesif yang dilakukan oknum ketika mengamankan orang-orang yang terlibat di dalam kerusuhan,” kata Usman di Markas Polda Metro Jaya, Jakarta, Selasa (9/7/2019).

Tapi, kata Usman, apakah di dalam prosesnya, setelah menangkap mereka, Polri tidak melakukan kekerasan yang berlebihan? “Nah ini yang saya kira jadi konsen Amnesty juga.Walau di video terlihat orang-orang itu benar-benar menggunakan kekerasan menyerang Polri atau merusak segala hal yang seharusnya tidak dirusak,” ucapnya.

Ia menilai seharusnya setelah perusuh ditangkap polisi, tidak ada tindakan berlebihan dari polisi, cukup diserahkan kepada penyidik untuk diproses lebih jauh dengab didampingi pengacara, diajukan ke pengadilan.

Pada ranah ini, ada sorotan besar dari masyarakat soal standar operasi baku polisi dalam tugas-tugas polisional seperti itu. “Tidak justru sebaliknya ketika di lokasi sudah diamankan dalam kondisi tidak berdaya, oleh banyak oknum anggota polisi yang lain misalnya dipukul, ditendang itu yang saya kira merupakan persoalan HAM yang jadi tanggung jawab bersama,” ucap dia.

Pada sisi lain, Amnesty International Indonesia mengapresiasi pernyataan Kepala Polda Metro Jaya, Inspektur Jenderal Polisi Gatot Pramono yang menyatakan akan mengambil tindakan pada oknum polisi yang menerapkan kekerasan secara eksesif dalam tugas pengamanan itu.

Pada Selasa ini, Amnesty International Indonesia menyerahkan hasil investigasinya terkait kekerasan HAM saat kericuhan 21-22 Mei 2019 yang terus berlangsung hingga 23 Mei 2019 pagi pada Kapolda Metro Jaya Irjen Pol Gatot Eddy Pramono.

Dalam pertemuan itu, Amnesty International juga menekankan agar pihak kepolisian tidak pandang bulu di dalam mengusut perkara tersebut untuk dibawa ke pengadilan, terkait juga dengan kematian Harun Ar-Rasyid, Abdul Aziz, Farhan dan beberapa orang korban lainnya.

Diketahui pada 21-22 Mei 2019, telah terjadi kekisruhan di sekitar Gedung Badan Pengawas Pemilu,  usai aksi demonstrasi menolak hasil pemilu 2019. Selain di Gedung Bawaslu, kekisruhan juga terjadi di sekitar Asrama Brimob Petamburan. Dalam kericuhan itu, ada sekitar sembilan hingga 10 orang tewas; sembilan di antaranya dipastikan terluka tembak dan ratusan orang ditahan.

Sebelumnya diketahui, Amnesty Internasional mendatangi Polda Metro Jaya, Selasa (9/7/2019). Usman menjelaskan, kedatangannya untuk membahas lebih rinci soal kerusuhan aksi 22 Mei, mengingat sebagian besar peristiwa terjadi di wilayah hukum Polda Metro. Usman menambahkan, dalam pertemuan ini membawa hasil data.

“Kemarin kita telah bertemu dengan tim supervisi Mabes Polri yang menangani masalah kekerasan dan kerusuhan di bulan Mei tersebut. Hari ini kita ingin membahas lebih jauh,” kata Usman di Mapolda Metro Jaya.

Selain soal rusuh 21-22 Mei, Usman juga akan bicara soal kasus penyiraman air keras terhadap penyidik senior Komisi Pemberantasan Korupsi, Novel Baswedan, yang belum jelas sampai kini.

Pihaknya akan bertanya soal Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF) yang dirasa belum dapat hasil signifikan. “Di luar itu bisa saja, misalnya (kasus) Novel, agenda penegakan HAM (hak Asasi Manusia) secara umum. Tentu saja kita menunggu laporan itu. Mudah-mudahan pertemuan ini bisa membahas masalah itu sekalian,” ujarnya.

Pertemuan ini diharap bisa menguak kasus-kasus pelanggaran HAM. Selain itu bisa menyelesaikan insiden tewasnya warga sipil yang diduga ditembak dengan menggunakan peluru tajam saat 21-22 Mei.

“Tindakan-tindakan kriminal semacam itu yang tentunya kami sangat mendukung agar Polri bekerja dengan profesional mengusutnya. Dan tentu saja tidak boleh lupa apabila ada anggota Polri yang melakukan pelanggaran hukum, juga diproses dengan cara yang sama dengan cara profesional dan terpercaya,” tutupnya. (net/lin)

 

sumber:  indopos.co.id/KAHMI Cilosari 17

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *