Gandeng Sekolah Berkebutuhan Khusus, KPU Kota Tangsel Gelar Sosialisasi

(ki-ka) Komisioner KPU Kota Tangsel Ahmad Mujahid Zein, Freza, Direktur Pendidikan Tri Wahdini Listyowati Yayasan PPCM. Foto: lina suhesti

KPU Kota Tangerang Selatan (Tangsel) menggandeng Yayasan Putra Putri Cerdas Mandiri menggelar bersama kegiatan sosialisasi bagi pemilih disabilitas di Sekolah Khusus Putra Putri Mandiri (SKh PPM) Ciputat, Tangsel, Rabu (20/02).

Puluhan anak disabilitas dan atau autis itu, tidak hanya dari SKh PPM, tapi mengundang sekolah khusus di wilayah Tangsel lain. Tentu para peserta itu didampingi orang tua atau pendamping (guru).

Direktur Pendidikan Tri Wahdini Listyowati Yayasan PPCM mengatakan, menjelang dilaksanakannya Pemilihan Umum (Pemilu), 17 April 2019, perlu untuk mengadakan sosialisasi dan memberitahukan kepada masyarakat akan pentingnya berkontribusi atau berpartisipasi untuk menggunakan hak suara sebagai pemilih penyandang disabilitas.

“Indonesia sudah memiliki undang-undang Nomor 8 Tahun 2016 tentang penyandang disabilitas. Sosialisai untuk pemilih ini penting dilakukan karena tidak semua penyandang disabilitas memahami proses penyelenggaraan pesta demokrasi,” ujar Dini, panggilan akrab Tri Wahdini Listyowati di sela acara.

Adapun tujuan diselenggarakan acara ini, lanjut Dini, tentu mensosialisaikan bahwa penyandang disabilitas memiliki hak dan difasilitasi negara untuk menyalurkan suaranya dalam pesta demokrasi seperti Pemilu, Pilkada, dan sejenisnya.

Komisioner KPU Kota Tangsel Ahmad Mujahid Zein mengatakan, sosialisasi pemilih bagi penyandang disabilitas wajib dilakukan penyelenggara pemilu, terutama KPU. Ini sesuai UU No 8 Tahun 2016.

Dini menanyakan soal pendamping anak autis yang secara fisik normal, tapi pemahaman berpikir kurang. Ini yang disebut beda-beda tipis sama gangguan mental. Jadi secara teknis, menurut Dini, agak sulit kalau tanpa pendamping.

Komisioner KPU Kota Tangsel Ahmad Mujahid Zein sedang melakukan simulasi. foto: lina suhesti

“Bagaimana dengan pendamping yang mungkin suara hati pendamping nantinya yang dicoblos si pemilih. Padahal hak suara masiang-masing dilindungi undang undang,” tanya Dini.

Kalau tunanetra, lanjut Dini, memang ada template, lalu tunarungu ada gambar yang membantu. “Kalau yang autis cukup berat kalaut idak pakai pendamping. Apa ini boleh? Karena orang gangguan jiwa tidak dibolehkan mencoblos alias tidak mendapat hak suara?”

Menurut Zein, intinya terpenuhi hak suara rakyat secara fungsi. “Saat hari H pecoblosan nanti akan ada aturan khusus terkait pendamping ini. Bisa dikonsultasikan dengan petugas, misalnya pendamping dari petugas yang disaksikan oleh para saksi,” tepisnya.

Usai simulasi, Zein mengetes hasilnya dengan mengajukan pertanyaan kepada peserta. “Kalau saya orang Serang memilih di Tangsel, maka akan mendapat kertas atau surat suara berapa banyak?”

Kemudian peserta bernama Didit menjawab, dapat surat suara empat. Ini terdiri dari surat suara untuk Presiden RI, DPR RI, DPRD Provinsi, dan DPD RI. “ Iya benar. Soale saya daftar pemilih tetapnya atau DPT Serang bukan Tangsel. Kalau orang Tangsel berarti jadi lima,” ujar Zein.

Kemudian Didit diberikan souvenir gelas dan begitu juga dengan tiga penanya lain yang berhasil maupun tidak menjawab pertanya dari Zein. (lin)

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *