Pengamat koperasi dan Dosen Universitas Bina Nusantara (Binus) Agung Sudjatmoko angkat bicara terkait statement Menteri Komunikasi dan Informasi (Menkominfo) Rudiantara yang viral belakangan ini tentang gaji ASN.
Seperti diketahui, menggelikan dan menggelitik pejabat sekelas menteri yang mengatakan bahwa harus milih petahana dalam Pemilihan presiden (Pilpres) 2019 karena alasan yang memberi gaji ASN (aparat sipil Negara) adalah pemerintah. Pemerintah itu adalah presiden.
“Konyol dan aneh di negara demokrasi pejabat partisan yang mempunyai kemampuan cekak. Maaf Menteri, gaji pegawai negeri itu berasal dari APBN, yang dikumpulkan dari pajak yang dibayar warga negara, deviden BUMN, pendapatan negara lainya termasuk utang,” sindir Agung dalam rilisnya diterima semarak.co, Sabtu (2/2).
Jadi dengan demikian, lanjut Agung, gaji ASN adalah Negara. Fungsi dan peran presiden, menteri, gubernur, bupati, walikota dan pimpinan satuan dinas hanya memutuskan dan melakukan administrasi sistem penggajian pegawai negeri.
“Ini berbeda jauh dengan pengusaha yang menggaji pegawainya dari modal dan kemampuan bisnisnya. Kalau pengusaha memerintahkan atau memecat pegawai wajar karena dia yang punya uang,” kecam Agung, yang juga Ketua Harian Dewan Koperasi Indonesia (Dekopin).
Sedangkan menteri tidak memberi gaji pegawai di departemenya. Kalaupun seorang menteri memberi uang tambah honor pada pegawainya, nilai Agung, tidak dilarang asal dari kantongnya sendiri dan tidak bersumber dari APBN.
“Jika seperti itu selama tidak menyalahi aturan bisa saja. Tapi kalau ada paling hanya segelintir orang. Karena memang sang menteri itu kaya raya dan pengusaha,” ujarnya member ilustrasi.
Asas Kepatutan
Apa yang dilakukan Menkominfo, kata dia, di luar asas kepatutan bahkan kalau memaksa pegawainya harus milih salah satu paslon (pasangan calon) itu bentuk dari abuse of power yang harus diberi sangsi tegas oleh Bawaslu.
“Pegawai negeri tidak boleh berpolitik, tetapi mempunyai hak pilih yang sama kedudukkannya dengan warga negara lainnya. Tidak boleh ada pihak manapun yang memaksa, mengintruksikan bahkan mempengaruhi,” harapnya.
Biarlah pegawai negeri bebas memilih sesuai dengan hati nuraninya. Seorang menteri, kata dia, jangan kehilangan nalar sehat dan objektifnya dalam menyikapi keadaan di tahun politik.
“Jadilah seorang profesional di kementerian dan pemimpin yang bersikap dan berjiwa negarawan. Masih banyak urusan negera di bidang kominfo dari pada urusi pilpres sampai pak menteri kehilangan akal sehat dan kenegarwanannya,” cetusnya.
Peringatan Untuk Pejabat Publik
Pejabat publik dilarang kampanye jika tidak ada ijin dan cuti jika di hari kerja. Namun memang kenyataan masih banyak pejabat yang memanfaatkan kegiatan dengan biaya APBN/D untuk kepentingan politik dukung mendukung.
Secara prakmatik ini unfair, kata Agung, namun memang sulit dihindari. Apalagi jika penegak hukum tidak memberlaku adil dalam melakukan tindakan. Pejabat yang mendukung patahana tidak di tindak, sedangkan pejabat dari lawan politik ditindak.
“Politik memang abu- abu dan siapapun berusaha mengatur strategi untuk memenangkan pilihan yg didukungnya. Inilah fungsi KPU dan Bawaslu yang harus mampu menjadi penyelenggara yang adil dan jujur,” desak Agung.
Jangan sampai, pinta dia, KPU menjadi wasit dalam demokrasi pemilu yang malah tidak netral. Sebab jika itu terjadi yang akan rugi rakyat sebagai pemilih dan mempercayakan kepemimpinan nasional pada pilihanya dengan jujur. (lin)