Beda di Filipina, Quick Count di Indonesia Malah Untuk Melegitimasi Kecurangan

Adhi Massardi memberi pernyataan terkait quick count. foto: internet rmol

Hasil Quick Count oleh beberapa lembaga survei Pemilu Pemilihan Presiden (Pilpres) serentak 2019 menuai polemik diberbagai kalangan. Buntutnya klaim kemenangan dilakukan oleh masing-masing kubu calon presiden (capres).

Ketua Umum Perkumpulan Swing Voters (PSV) Adhie Massardi menyebut dibentuknya lembaga survei justru melegitimasi kecurangan. Prabowo adalah pemimpin yang paling ikhlas.

Dia menjelaskan sejarah dibentuknya lembaga survei untuk mencegah kecurangan dan KPU yang pro pada presiden. Awalnya di Filipina, karena KPU-nya pro pemerintah semasa Presiden Ferdinand Marcos, maka dimunculkan quick count untuk mengcounter itu dan akhirnya rakyat menang dengan memakai perbandingan hasil cuiq count itu.

“Di Indonesia justru membuat lembaga survei untuk melegitimasi kecurangan, sehingga lembaga survei ini adalah benalu demokrasi. Bukan hanya itu, lembaga survei  menjadi parasit demokrasi. Mereka hidup mencari uang dalam demokrasi tapi dengan mangadaikan masa depan rakyat indonesia,” ucap Adhi, di Kantor Sekretariat Nasional (Seknas) Prabowo-Sandi, Rumah Kertanegara, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan, Kamis (18/4).

Juru bicara Presiden keempat RI Abdurrahman Wahid mengatakan, kecurangan tersebut diatur dengan berbagai mekanisme dan kecurangan itu masuk kedalam tubuh KPU. Sehingga, kata dia nantinya pasca Joko Widodo harus dibentuk KPU baru yang jujur sehingga setiap pemilu jadi bermartabat, setiap pemilu menjunjung tinggi kejujuran dan keadilan.

“Karena demokrasi adalah cara pergantian pemimpin yang rasional, jika tidak mau di ganti berati anti demokrasi, teman-teman yang sudah berkuasa saat ini merupakan proses demokrasi sehingga harus menghormati demokrasi. Namun, jika setelah menjabat lalu mengkhianati demokrasi maka akan berhadapan dengan kekuatan rakyat,” tegasnya.

Sebelumnya Adhi mengingatkan lembaga survei yang akan melakukan quick qount, tidak melakukan manipulasi angka dan data. Terlalu berisiko dan berbahaya bila hitung cepat menjadi alat untuk mempengaruhi persepsi dan menggiring publik.

“Yang saya khawatirkan adalah mereka menggunakan metode (hitung cepat) disamakan dengan metode survei politik elektabilitasnya. Sehingga mereka hanya mengambil sampel di basis yang pro klien mereka yang memesan quick qount. Sementara di tempat atau basis pasangan lain diabaikan sehingga akibatnya termanipulasi,” kata Adhie Massardi kepada wartawan di Jakarta, Selasa (16/4/2019).

Memang, kata Adhie, keputusan final ada di perhitungan faktual di KPU. Tapi dengan sistim quick qount yang dimobilisasi dan dipancarluaskan ke masyarakat dikhawatirkan akan menimbulkan gejolak politik. “Untuk mencegahnya perlu ada lembaga-lembaga survei lain yang independen untuk menandingi penyelenggaraan quick qount bayaran,” ujarnya.

Selain quick qount yang independen, kata Adhie, Bawaslu dan kalangan intelektual harus mengawasi para penyelenggara quick qount. “Karena saya yakin lembaga quick qount ini menggunakan kemampuannya untuk mencari uang di ranah demokrasi bukan untuk tujuan meningkatkan kualitas demokrasi,” ujarnya.

Seharusnya, kata Adhie, kampus dan perguruan tinggi berperan untuk menangkal hitung cepat bayaran. Namun, kampus tak bisa diandalkan karena mereka juga banyak masalah. “Lihat di kampus Islam saja untuk jadi rektor diminta setor duit Rp 5 miliar. Kemudian di Unpad pemilihan rektor juga bermasalah. Jadi kampus tak bisa diandalkan,” sindirnya.

Satu-satu harapan, Adhie masih mempercayai Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI). Lembaga ini diharapkan dapat memberikan pencerahan agar lembaga survei bayaran tidak leluasa bermanuver.

“Mudah-mudahan teman-teman di LIPI menyadari ini bahwa persoalan bangsa ini perlu pembimbing kalangan intelektual. Lihat begitu borjuisnya mereka karena itu LIPI harus menetralisir hasil quick qount bayaran,” kata Adhie Massardi dari Perkumpulan Swing Voters.

Pendukung pasangan calon (paslon) 02, Prabowo Subianto-Sandiaga Uno (Prabowo-Sandi) ini meminta semua pendukung tidak menghiraukan hasil hitung cepat atau quick count dari lembaga survei. Sebab, berdasarkan data internal dari BPN formulir C1 untuk suara Prabowo-Sandi telah meraih 62%.

Menurut Adhie, hasil quick count lembaga survei dimiliki paslon 01, Joko Widodo-Ma’ruf Amin (Jokowi-Ma’ruf). “Untuk apa kita ributin quick count? Itu kan punya mereka (Jokowi-Ma’ruf). Biarkan saja. Kita punya Twitter, grup WhatsApp, siarkan bahwa kita punya hasil internal. Nanti masyarakat percaya kita atau quick count? Kan pasti percaya kita, karena quick count kan enggak bisa dipercaya,” ujar Adhie.

Koordinator Gerakan Indonesia Bersih tersebut juga menilai bahwa pemungutan suara ulang di beberapa daerah tak perlu dilakukan. “Apalagi, jika dilakukan oleh penyelenggara yang sama. Kalau diulang, itu harus ganti penyelenggara. Bagi saya enggak usah diulang,” tegas Adhie.

Adhie juga menyatakan, pendukung Prabowo-Sandi jangan terpancing dengan kemungkinan upaya-upaya provokasi dari kubu paslon 01. “Sekarang kita jangan sampai terpancing. Ada skenario nanti seolah-olah ada pendukung dari 02 marah, padahal bukan kita. Kita santai saja,” ucap Adhie.

Adhie pun menyebut, “Demokrasi itu sudah kehendak rakyat. Kalau ada yang lukai pasti rakyat akan bergerak. Pasti akan ada gerakan rakyat pro demokrasi.”

Netralitas dan profesionalisme sejumlah lembaga survei politik patut diragukan. Hal itu sebagaimana disampaikan Ketua Umum Perkumpulan Swing Voters, Adhie Massardi, dalam perbincangan dengan redaksi beberapa saat lalu, Rabu (17/4).

Pasalnya, dikhawatirkan mereka akan memanipulasi data dalam hitung cepat atau quick count sehingga hasil hirtung cepat sementara yang mereka umumkan akan mengikuti hasil survei mereka belakangan ini.

Adhie mengatakan dirinya tidak percaya pada lembaga-lembaga survei tersebut. Dia khawatir lembaga-lembaga itu hanya mengambil sample di basis pendukung klien yang memesan quick count, serta mengabaikan sample di tempat lain.

“Keputusan perhitungan faktual memang ada di KPU. Tapi dengan sistem quick count yang dimobilisasi dan dipancarluaskan ke masyarakat dikhawatirkan akan menimbulkan gejolak politik. Ini yang tidak boleh terjadi,” ujar Adhie lagi.

Oleh karena itu, lanjut Adhie, perlu ada lembaga survei lain yang independen untuk menandingi penyelenggaraan quick count bayaran. Selain quick count yang independen, kata Adhie, Bawaslu dan kalangan intelektual harus mengawasi para penyelenggara quick count itu. “Karena saya yakin lembaga quick count ini menggunakan kemampuannya untuk mencari uang di ranah demokrasi bukan untuk tujuan meningkatkan kualitas demokrasi,” ujarnya.

Seharusnya, kata Adhie, kampus dan perguruan tinggi berperan untuk menangkal hitung cepat bayaran. Namun, kampus tak bisa diandalkan karena mereka juga banyak masalah. “Lihat di kampus Islam saja untuk jadi rektor diminta setor duit Rp 5 miliar. Kemudian di Unpad pemilihan rektor juga bermasalah. Jadi kampus tak bisa diandalkan juga,” ujar Adhie.

Satu-satu harapan, sambung Adhie, ada pada Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI). Lembaga ini diharapkan dapat memberikan pencerahan agar lembaga survei bayaran tidak leluasa bermanuver. “Mudah-mudahan teman-teman di LIPI menyadari ini bahwa persoalan bangsa ini perlu pembimbing kalangan intelektual. LIPI harus menetralisir hasil quick qount bayaran,” ujarnya. (bsc/lin)

 

sumber: rmol

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *