Bebaskan Ba’asyir Tanpa Landasan Hukum, Bisa Dituding Kangkangi Hukum Tetap

Ketua Dewan Pembina Tim Pengacara Muslim (TPM) Mahendradata (kedua dari kanan) saat konferensi pers dikantornya, Jakarta, Senin (21/1/2019). Foto: internet/ipo

Pakar hukum pidana dari Universitas Trisakti (Usakti) Abdul Fickad Hadjar menilai, rencana pembebasan ustadz Abu Bakar Ba’asyir tanpa syarat oleh Presiden Joko Widodo bisa membuat kekacauan sistem hukum negara ini. Alias bisa dituding mengangkangi hukum tetap.

Sebab, pada Desember 2018, Ba’asyir telah menolak untuk menandatangani surat pernyataan sebagaimana diatur dalam Pasal 15 KUHP. Salah satunya Ba’asyir menolak berikrar setia pada Pancasila.

Hal ini menjadikan pembebasan bersyaratnya tidak bisa diberikan pada pengasuh Pondok Pesantren Ngruki Solo tersebut. Dengan kata lain, kata Fickar, saat ini tidak ada landasan hukumnya.

“Jika tidak ada landasannya, ini akan mengacaukan sistem, artinya meski dengan pertimbangan kemanusiaan tetap harus ada landasannya, jika tidak Presiden dapat dianggap mengangkangi konstitusi atau negara hokum,” jelas Fickad di Jakarta, Senin (21/1).

Adapun merujuk pernyataan Yusril Ihza Mahendra selaku utusan Jokowi, Ba’asyir tetap bisa memperoleh bebas bersyarat tanpa Pasal 15 a ayat (1) KUHP karena kebijakan khusus dari Presiden Jokowi.

Melihat hal ini, Fickar berpandangan presiden harus membuat landasan hukum tersendiri. Aturan itu bisa berupa Peraturan Pemerintah Pengganti Undang Undang (Perppu), Peraturan Presiden (Perpres) atau Peraturan Menkum Ham. “Aturan ini dijadikan sebagai dasar tindakannya, agar tidak menimbulkan kesan semaunya demi tujuan politik tertentu,” jelasnya.

Sebenarnya sependapat dengan alasan pembebasan Ba’asyir dilakukan dengan pertimbangan kemanusian. Akan tetapi, ia menegaskan asas legalitasnya harus tetap diperhatikan karena Indonesia adalah negara hukum.

Dalam koridor negara hukum, presiden itu sebagai pelaksana UU hanya mempunyai kewenangan membebaskan orang secara terbatas pada grasi dan rehabilitasi, amnesti, abolisi dan pembebasan bersyarat.

“Secara logis yuridis atau akal sehat  untuk membebaskan bersyarat saja harus diatur UU, KUHP, apalagi membebaskan tanpa syarat. Hal ini hanya bisa terjadi dinegara kerajaan sebagai pengampunan dari raja,” pungkasnya.

Ba’asyir sendiri merupakan terpidana kasus terorisme yang divonis penjara selama 15 tahun. Saat ini Ba’asyir telah menjalani masa hukumannya selama 9 tahun. Pertimbangan kemanusiaan dan kesehatan menjadi pertimbangan Jokowi dalam pembebasan kali ini.

Ketua Dewan Pembina Tim Pengacara Muslim (TPM) Mahendradata mengatakan, terpidana kasus terorisme Abu Bakar Ba’asyir akan menghirup udara segar, Rabu (23/1). “Pekan ini. Kami mengusulkan rabu keluar. kami mempersiapkan rabu. Semoga tidak melenceng,” ucap Mahendradata saat konferesi pers kantornya, Jakarta, Senin (21/1).

Untuk mekanisme pengeluaran Ustadz Abu Bakar Ba’asyir, lanjut Mahendradata, masih dibicarakan dengan pihak keluarga Ustadz Abu Bakar Ba’asyir. “Nanti sedang dibicarakan dengan keluarga. Lewat jalur darat atau udara,” imbuhnya.

Selain itu, Mahendra menyampaikan, pembebasan Ustadz Abu Bakar Ba’asyir sudah dilakukan sejak lama. “Kalau dari kita, sudah mengusulkan kira-kira bertahun-tahun yang lalu. Kita-kira empat tahun,” tutupnya. (lin/net)

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *